Senin, 11 Juni 2012

Lunturnya Nilai-nilai Pancasila


LUNTURNYA NILAI PANCASILA



Keyakinan terhadap Kesaktian Pancasila saat ini sudah menguap seiring dengan perkembangan zaman saat ini. Popular Culture yang dimasukan oleh bangsa barat menjadi penyebab utama hilangnya nilai-nilai pancasila yang ada dalam benak setiap pemuda sebagai generasi penerus bangsa. Dahulu Kesaktian Pancasila begitu diyakini dan diterapkan menjadi pola hidup masyarakat Indonesia. Nasionalisme terbangun sangat kuat hingga muncul gerakan radikal nasionalisasi aset-aset asing yang dianggap strategis bagi negara.
Pancasila yang awalnya telah mengakar secara perlahan-lahan mulai tercabut, dan akan tumbang pada nantinya seiring dengan masuknya budaya-budaya barat yang mulai dijadikan gaya hidup masyarakat, khususnya kaum muda di Indonesia. Pancasila sudah dianggap suatu hal yang kuno, konservatif, kaku, tidak gaul dan statis. Pola pikir ini yang dengan sengaja dibuat oleh kelompok-kelompok barat agar dapat menyingkirkan kehadiran Pancasila dari setiap insan kaum muda Indonesia, sehingga dengan mudah mereka menguasai dan menancapkan bibit-bibit ideologi Kapitalisme.
Kaum muda saat ini sudah mulai terasuki oleh pola hidup hedonis, diskotek, dugem, pesta pora dan bersenang-senang sudah menjadi pilihan hidup dan gaya hidup kaum muda di Indonesia. Bahkan jika anak muda tidak dugem dikatakan “gak gaul”, kampungan, ndeso, dll. Tanpa disadari, mereka telah terjerat masuk dalam perangkap popular culture yang membawa pada kehancuran moral dan ideologi dirinya sendiri. Perangkap yang akan membunuh generasi muda Indonesia itu dibuat senikmat mungkin agar membuat sasaran dapat terlena dan dengan sukarela masuk dalam perangkap yang sangat mematikan.

Harus diakui semua itu disebabkan karena metode penanaman nilai-nilai Pancasila yang terlalu kaku, konservatif dan pasif hingga dengan mudah tergilas seiring dengan perkembangan jaman. Pemerintah pun akhir-akhir ini masih tetap menggunakan metode-metode konservatif sehingga penanaman nilai-nilai pancasila dianggap gagal, terlihat dari kebijakan-kebijakan, produk undang-undang yang tidak memasukan nilai-nilai Pancasila, sehingga menjadi suatu kebijakan atau produk hukum yang tidak pancasilais. Karena itu, harus ada terobosan baru agar pancasila bisa kembali diterima, tertanam dan berakar khususnya dalam diri kaum muda. Maka mau tidak mau, modernisasi metode penanaman nilai-nilai Pancasila harus segera dilakukan, untuk melepaskan kaum muda dari jerat popular culture yang telah dibangun oleh blok barat.
Kelompok-kelompok masyarakat Indonesia saat ini terbagi menjadi 4 (empat) kelompok :
1.  Kelompok Aktivis adalah kelompok masyarakat yang masih memiliki ideologis dan   kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara.

 2.  Kelompok Hedonis adalah kelompok masyarakat yang hanya memikirkan hidup bersenang-senang.

3.  Kelompok Oportunis adalah kelompok masyarakat yang hanya mau ikut memikirkan negara jika ada sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya.

 4.  Kelompok Pragmatis adalah kelompok masyarakat yang hanya memikirkan peningkatan taraf hidupnya sendiri dan sama sekali tidak mau memikirkan nasib bangsa dan negara.

 5.  Kelompok Apatis adalah kelompok masyarakat yang sama sekali tidak memikirkan nasib kelangsungan hidupnya apalagi nasib kelangsungan hidup bangsa dan negaranya.

Dan kita sebagai kaum muda jangan sampai terjerumus ke dalam kelompok masyarakat hedonis. Kita harus menjadi masyarakat yang aktivis untuk mengembalikan nilai-nilai pancasila di Indonesia untuk nasib kita sendiri. SEMANGAT !!! :)

Pancasila Sebagai Alat Mempersatukan Bangsa


              Akhir-akhir ini  muncul kesadaran baru tentang betapa pentingnya Pancasila digelorakan lagi, yang sudah beberapa lama seperti dilupakan. Sejak memasuki masa reformasi, maka apa saja yang  berbau orde baru  boleh  dibuang  dan atau  dijauhi. Reformasi seolah-olah mengharuskan semua tatanan  kehidupan termasuk ideologinya  agar supaya diubah, menjadi idiologi reformasi.  Siapapun kalau masih berpegang pandangan  lama, semisal Pancasila, maka dianggap tidak mengikuti zaman.
Pancasila pada orde baru dijadikan  sebagai tema sentral dalam menggerakkan seluruh komponen bangsa ini. Maka dirumuskanlah ketika itu  Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disinghkat dengan P4. Pedoman itu  berupa butir-butir pedoman berbangsa dan bernegara.  Nilai-nilai yang ada pada butir-butir P4  tersebut sebenarnya tidak ada sedikitpun yang buruk atau ganjil, oleh karena itu,  menjadi mudah diterima oleh seluruh bangsa Indonesia.
           Hanya saja tatkala memasuki  era reformasi, oleh karena pencetus P4  tersebut adalah orang yang tidak disukai, maka buah pikirannya pun dipandang harus dibuang, sekalipun baik. P4 dianggap tidak ada gunanya. Rumusan P4 dianggap sebagai alat untuk memperteguh kekuasaan. Oleh karena itu, ketika penguasa yang bersangkutan jatuh, maka semua pemikiran dan pandangannya  dianggap tidak ada gunanya lagi, kemudian ditinggalkan.
Sementara  itu,  era reformasi  belum berhasil  melahirkan  idiologi pemersatu bangsa yang baru.  Pada saat itu semangatnya adalah memperbaiki pemerintahan yang dianggap korup, menyimpang,  dan otoriter, dan  kemudian haraus  diganti dengan semangat demokratis. Pemerintah harus berubah dan bahkan undang-undang dasar 1945 harus diamandemen. 
           Beberapa hal yang masih didanggap  sebagai identitas bangsa, dan harus dipertahankan  adalah bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia raya, dan  lambang Buirung Garuda. Lima prinsip dasar yang mengandung nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara,  yang selanjutnya disebut Pancasila, tidak terdengar lagi, dan apalagi P4.       
Namun setelah melewati sekian lama  masa reformasi, dengan munculnya idiologi baru, semisal NII dan juga lainnya, maka  memunculkan kesadaran baru, bahwa ternyata Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dianggap penting untuk digelorakan kembali. Pilar kebangsaan itu dianggap sebagai alat pemersatu bangsa yang tidak boleh dianggap sederhana hingga dilupakan.

         Pancasila dianggap sebagai alat pemersatu, karena berisi cita-cita dan  gambaran tentang nilai-nilai ideal  yang akan diwujudkan oleh bangsa ini.
Bangsa Indonesia yang bersifat majemuk, terdiri atas berbagai agama, suku bangsa, adat istiadat, bahasa daerah,   menempati wilayah dan kepulauan yang sedemikian luas, maka  tidak mungkin berhasil disatukan tanpa alat pengikat.  Tali pengikat itu adalah cita-cita, pandangan hidup yang dianggap ideal yang dipahami, dipercaya dan bahkian  diyakini sebagai sesuatu yang mulia dan luhur.
       Memang setiap  agama  pasti memiliki ajaran tentang  gambaran kehidupan ideal,  yang  masing-masing berbeda-beda.  Perbedaan itu tidak akan mungkin  dapat dipersamakan. Apalagi, perbedaan  itu sudah melewati  dan memiliki sejarah panjang. Akan tetapi,  masing-masing pemeluk agama lewat para tokoh atau pemukanya, sudah berjanji dan berekrar akan membangun negara kesatuan berdasarkan Pancasila itu.
       Memang  ada sementara pendapat,  bahwa agama akan bisa mempersatukan bangsa. Dengan alasan bahwa masing-masing agama selalu mengajarkan tentang persatuan, kebersamaan dan  tolong menolong, sebagai dasar hidup bersama. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak sedikit konflik  yang terjadi antara penganut agama yang berbeda. Tidak sedikit orang merasakan  bahwa perbedaan selalu menjadi halangan untuk bersatu. Maka Pancasila, dengan sila pertama adalah  Ketuhanan Yang Maha Esa, merangkum dan sekaligus menyatukan  pemeluk agama yang berbeda itu.  Mereka yang berbeda-beda dari berbagai aspeknya itu  dipersatukan  oleh cita-cita dan kesamaan idiologi bangsa ialah Pancasila.    

         Itulah sebabnya, maka  melupakan Pancasila sama  artinya dengan mengingkari  ikrar, kesepakatan,  atau janji bersama sebagai bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Selain  itu, juga dem ikian,  manakala muncul kelompok atau sempalan yang akan mengubah  kesepakatan itu, maka sama artinya dengan  melakukan pengingkaran sejarah dan janji  yang telah disepakati bersama. Maka,  Pancasila adalah sebagai tali pengikat bangsa yang harus selalu diperkukuh  dan digelorakan pada setiap saat. Bagi bangsa Indonesia melupakan Pancasila, maka sama artinya dengan melupakan kesepakatan dan bahkan janji bersama itu.

        Oleh sebab itu, Pancasila, sejarah  dan  filsafatnya harus tetap diperkenalkan dan diajarkan kepada segenap warga bangsa ini, baik lewat pendidikan formal maupun non formal. Pancasila  memang hanya dikenal di Indonesia, dan tidak dikenal di negara lain. Namun hal itu tidak berarti, bahwa bangsa  ini tanpa Pancasila bisa seperti bangsa lain. Bangsa Indonesia memiliki sejarah, kultur, dan sejarah politik yang berbeda dengan bangsa lainnya. Keaneka-ragaman bangsa Indonesia memerlukan  alat pemersatu, ialah Pancasila.