Kamis, 02 Januari 2014

Ayah, Aku Tidak Pernah Membencimu

Cerpen


     Gemerlap sinar itu mungkin telah lenyap ditelan ombak di laut, entah ke arah mana, dimana bahkan bagaimanapun aku juga tak tahu pasti. Kejadian itu terjadi saat aku masih di bangku SMA, yang jelas kebahagiaan itu telah tiada di hidupku, dunia ini seakan berputar begitu cepat.
     Ini kisahku..
Saat ini aku berusia 15 tahun, tepat menduduki bangku sekolah kelas 1 SMA.
Aku merupakan anak satu-satunya. Delita Andini, ya itu nama yang diberikan oleh Ayah dan Ibuku.
Memang kebahagiaan keluarga kecilku tidak sepanjang usiaku.
Kemewahan atas harta kekayaan telah diberikan Ayah sejak aku lahir di dunia kini telah lenyap akibat pengkhianatanya. Ayah yang begitu aku sayangi dengan tega meninggalkan kami demi orang ketiga pilihanya.
   Hari-hari itu memang Ayah dan Ibu sering mempermasalahkan satu hal yang selalu diiringi tangisan, jeritan, bahkan tamparan yang mungkin tak seharusnya terjadi dan tak pernah ku harapkan hadir di keluargaku.
“kamu seorang pengkhianat!”
“tutup mulutmu!!!” bentak Ayah
Begitulah pertengkaran yang setiap malam ku dengar di telingaku.
Malam itu aku tak tahu setan apa yang telah merasuki perasaan Ayah hingga ia begitu tega mengusir kami tanpa belas kasih sedikit pun.
“kemasi barang kalian dan segera pergi dari sini! Dasar benalu!”
Tak ku dengar pasti jawaban ibu, yang aku dengar hanya tangisan dan suara gerak kakinya yang menuju kamarku, aku tak tahu tiba-tiba ibu langsung memasukan bajuku dan baju nya lalu dia mengajakku keluar dari rumah.
"Apa yang Ayah bicarakan? Ayah mau kami pergi? Kenapa yah?" Tanyaku heran.
"Kamu pergi saja dengan Ibumu!!" Jawab Ayah terlihat sangat marah, itu pertama kalinya aku dibentak oleh Ayahku.
Kecewa dan marah.. itulah perasaan yang aku rasakan. Terkadang aku heran dengan sikap kedua orangtua ku yang seperti anak kecil, bertengkar.. bertengkar.. dan bertengkar!
Suasana itu yang kadang membuatku lebih banyak menghabiskan waktu di Sekolah sampai sore. untungnya, aku mengikuti sebuah organisasi yang membuatku terhibur dan merasa lebih baik ketika di Sekolah.
Saat itu kulihat wajah ibu yang terlihat bingung entah apa yang ia pikirkan, dia menciumku dan menangis dia berkata kepadaku kata bijak yang sampai aku menghembuskan nafas masih ada di otaku “kamu harus jadi wanita yang kuat” aku tak tahu mengapa ia mengatakan itu padaku.

     Malam itu kami menyusuri jalan hingga langkah kaki kami terhenti di sebuah mesjid ibu menangis dia memeluku dengan tanganya yang hangat setelah itu ibu mengajakku duduk di sebuah mesjid.
“Kenapa Ibu menangis?”
“Ibu nggak nangis kok nak, kita tidur di sini dulu ya”
“Kenapa kita harus meninggalkan rumah seperti ini bu?"
“Sekarang itu bukan rumah kita nak..” jawabnya lirih.
Selepas sholat Isya, Aku hanya terdiam, ku turuti apa kata Ibu lalu dia menaruh jaket nya untuk alas tidurku. Sementara Ibu masih melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Keesokan hari, Ibu memutuskan untuk mengajakku tinggal bersama dirumah Nenek.
“Ayo nak, kita harus kerumah Nenek..."
Aku tidak banyak berkata, ku turuti apa yang Ibu katakan.
Lalu kami berjalan menuju terminal yang letaknya tak jauh dari mesjid dan kami menaiki sebuah mobil warna hijau yang terdapat banyak orang di dalamnya.
     Perjalanan yang begitu lama dan tak kurasa aku sudah sampai di rumah neneku, rumah yang dua kali lebih kecil dari rumah yang kami tempati dulu.
Disana hari-hari kulalui meski aku sulit untuk menghilangkan kehidupanku yang seperti dulu,
aku jarang makan hingga aku terkena penyakit lambung tapi aku tetap tak mau makan.

     Hari-hari kulalui hingga tak terasa umurku sudah 17 tahun dan aku sudah menginjak kelas 3 SMA. Meski kini aku mempunyai seorang kekasih yang selalu menemani dan menghiburku,
tetap aku sangat merindukan Ayah.
Setiap hari ku ingin Ayah kembali dengan ibu tapi itu mustahil ibu sudah sangat benci pada ayah hingga pada saat ayah menemuiku ibu melarangnya.
Aku tak peduli apapun alasan kedua orangtuaku bisa seperti ini, yang pasti aku sangat rindu pada ayah,
hingga menjelang ujian nasional aku tak kuasa menahan rinduku
“Ayah aku sangat merindukanmu”
Ujian nasional itu kulalui dengan keadaan sakit, tapi aku masih tetap semangat dengan kehidupanku saat ini.
Tak terasa hari kelulusanpun tiba, senang rasanya melihat hasil kelulusanku dengan nilai yang cukup baik.
Aku harus segera menyampaikan berita gembira ini pada Ibu. Akupun ingin memberitahu Ayah, "Ayah.. aku lulus!"
Kebahagiaan ini tak lengkap jika Ayah tidak mengetahuinya. Entah kenapa tiba-tiba aku tak bisa menggerakan kaki ku bahkan perutuku sudah sangat sakit
“aku harus semangat!” kataku dalam hati.

     Setelah ku tempuh perjuangan Ujian Nasional hingga Kelulusan, keadaan ku semakin memburuk, ku lihat ibu, nenek, teman-teman dan kekasih ku begitu sedih.
Aku dibawa ke rumah sakit, aku tak sadarkan keberadaanku.
Ku lihat mereka menangis, ku lihat tubuhku terbaring di sebuah ranjang dengan mata tertutup, ku lihat sosok ayah memeluk tubuh kecilku.
Dan tak kusadari inilah roh ku, ini lah jasadku.
     Tubuhku dimandikan, tubuhku di selimuti kafan, dan disholati.
Hingga kulihat ayah dan kekasihku menangis di atas nisanku dan ku saksikan jasadku terpendam beserta rasa rinduku pada ayah.
Kalau sekarang aku bisa bicara dengan ayah akan kubisikan sebuah kata “Ayah..sampai kapanpun aku tak akan pernah membencimu”
.

The End.
Karya : Dini Dwi Rahayu

0 komentar:

Posting Komentar