Hanya sekedar berceritaaa.. :)
Wilujeung Sumping.. :-)
Pada
tulisan kali ini, saya akan berbagi cerita tentang watak suku Sunda. Alasan saya
menulis mengenai watak suku sunda ini, karena dari berbagai pengalaman dan
informasi yang saya dapat ternyata lebih banyak pendapat orang dari luar suku
sunda yang mengatakan dari sisi negatif nya ketimbang sisi positif nya. Sampai
saya mendapatkan mitos bahwa "Suku Sunda Tidak Cocok Untuk Suku
Jawa". Mengapa begitu ya? Memang sebagai manusia tentu mempunyai hak
kebebasan untuk berpendapat, tetapi sebenarnya apa sih yang membuat orang luar
suku sunda yang berpendapat jelek tentang suku Sunda?
Saya sebagai orang Sunda, tentu ingin suku Sunda dilihat baik dari berbagai
kalangan suku lain. Nah, maka dari itu..yuk baca baik-baik tulisan tentang suku
Sunda ini, kita pecahkan masalah mitos ini.. supaya suku Sunda gak dipandang
sebelah mata :-)
Setelah
saya banyak bertanya, menerima pendapat-pendapat dan searching di google
tentang suku Sunda, ada satu mitos jelek yang sampai saat ini masih melekat dalam
pandangan untuk suku Sunda. Berikut pendapat dari salah seorang suku Jawa
tentang pandangan Sunda.
"Lelaki Sunda tidak cocok untuk perempuan
Jawa, karena watak orang jawa dan sunda memang berbeda, kalau dipaksakan
menikah maka pasangan yg berasal dari jawa akan tertindas dan tersiksa, ini
karena karakter orang jawa yang nrimo, mengalah, diam dan mau prihatin lalu
ketika dipertemukan dengan orang sunda yang berkarakter suka mendominanisasi,
penuntut, matre maka akan sangat mudah terjadi perceraian, perempuan sunda
lebih menyukai lelaki jawa daripada lelaki sunda dikarenakan sikap giatnya
dalam bekerja dan tidak pelit dalam hal menafkahi, sehingga harta akan lebih
banyak mengalir ke keluarga perempuan, yg mengakibatkan pemborosan dan
kemiskinan. Sebaliknya, jika perempuan jawa menikah dengan lelaki sunda, maka
sifat nrimo, sabar dan mengalah perempuan jawa akan dimanfaatkan oleh pihak
lelaki sunda yg malas bekerja namun penuntut dan keluarga lelaki sunda pun akan
lebih mudah untuk mendominanisasi, mendikte keluarga anaknya/adiknya yang
sunda."
Bila kita melihat pendapat yang satu ini, kelihatannya perempuan Sunda itu
memiliki sifat yang matre, dan lelaki Sunda memiliki sifat pemalas juga keras.
Dan ketika Suku Sunda dan Jawa dipasangkan, maka lebih mudah akan terjadinya
perceraian dala pernikahannya.
Menurut
saya tak perlu Jawa Sunda, sesama Jawa atau sesama Sunda juga pasti bertemu
masalah besar.. Masalah cerai, sepertinya itu tergantung bagaimana kita
menjalani sebuah rumah tangga ya, kalau memang salah satu atau keduanya
mewarisi kebiasaan kawin cerai, tak bisa menghargai kesetiaan, perilaku jelek,
pengkhianat dan serakah , yaa… cerai adalah solusi yang hampir pasti dipilih
setiap kali bertemu masalah.
Banyak dari para orangtua Jawa atau Sunda yang melarang pernikahan terkait hal
ini karena mitos itu tadi. Yaa lagi-lagi mitos,, itulah kenapa kita perlu
memperhatikan logika untuk membebaskan diri dari ajaran-ajaran buruk dan pola
pikir tak masuk akal yang diwariskan orang tua yang punya pandangan seperti
itu.
Ada
1 cerita yaitu Perang Bubat yang mungkin
melatar belakangi hal ini. Berikut cerita singkatnya:
Perang Bubat
Peristiwa Perang Bubat diawali
dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka
Citraresmi dari Negeri Sunda.
Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh Danasasmita serta Naskah Perang
Bubat oleh Yoseph Iskandar, niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali
persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya
yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit dianggap keturunan Sunda dari Dyah
Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini
juga tercatat dalam Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3.
Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari
Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah
kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.
Alasan umum yang dapat
diterima adalah Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan
didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda.
Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat
kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara
pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan
Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora
Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu,
tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki.
Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit
yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai
Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat
ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua
negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan
diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Kesalah-Pahaman
Raja
Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan
diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana,timbul niat Mahapatih Gajah
Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa
yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai
kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda
lah yang belum dikuasai. Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan
untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah
bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak
Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi
sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas
Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan
tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada
saat itu.
Gugurnya Rombongan Sunda
Kemudian
terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.
Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri
Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk
dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun
Gajah Mada tetap dalam posisi semula. Belum lagi Hayam Wuruk memberikan
putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke
Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas
Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak
tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan
pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal
kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil. Peristiwa itu berakhir dengan
gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga
kerajaan Sunda. Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati
berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan
negaranya. Tindakan ini mungkin diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda
yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi.

Akibat
Tradisi
menyebutkan bahwa Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk
menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang
saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk
dan Dyah Pitaloka - untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang
Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta
menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau
Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil
hikmahnya. Raja Hayam Wuruk kemudian menikahi sepupunya sendiri, Paduka Sori.
Akibat peristiwa Bubat ini,
dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada
menjadi renggang..Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai
turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah
perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo).
Tragedi ini merusak hubungan
kenegaraan antar kedua negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun
kemudian, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala. Akibat
peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan
larangan estri ti luaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar
lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah
dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai
larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Tindakan keberanian dan
keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela
pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap
sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa
Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri
negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang
berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus
Prabu Wangi.
Beberapa reaksi tersebut
mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah
sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan
permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa
hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota
Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan
jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah
Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat
Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji
dalam tragedi ini.
Hal yang menarik antara lain, meskipun Bali sering kali dianggap sebagai
pewaris kebudayaan Majapahit, masyarakat Bali sepertinya cenderung berpihak
kepada kerajaan Sunda dalam hal ini, seperti terbukti dalam naskah Bali Kidung
Sunda.
Menurut
saya, tidak ada korelasinya antara sejarah dengan alasan pelarangan tersebut
yang beredar pada masa kini, dengan alasan takut terjadinya peperangan seperti
perang bubat zaman dulu.
Jika kita melihat dalam Hadist, “Perempuan itu dinikahi karena empat hal:
karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, atau karena agamanya. Pilihlah
berdasarkan agamanya agar engkau beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
“…, sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan
laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu
bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki
yang mulia (surga)”. (Q.S. An-Nur:26)
Islam adalah agama yang
berdasarkan ittiba’ (mengikuti berdasarkan dalil) bukan ibtida’ (mengada-adakan
sesuatu tanpa dalil) dan Rasulullah SAW telah berusaha menjaganya dari sikap
yang berlebih-lebihan dan mengada-ada.
Jadi menurut saya, sifat jelek dalam diri seseorang itu tidak tergantung pada
ras nya, melainkan pada akhlak yang dipunyai setiap manusia. Perihal jodoh sama
sekali tidak terkait dengan Suku atau Ras. Setiap manusia mempunyai kekurangan dan
kelebihan, tergantung bagaimana kita bisa menutupi kekurangan tersebut menjadi
suatu kelebihan. Begitupun terhadap pasangan, bagaimana kita bisa menerima dan
saling melengkapi satu sama lain untuk tetap menjaga sebuah komitmen.
Maaf ya jika ada yang tidak berkenan
dengan tulisan diatas :-)
Semoga bermanfaat..... ^_^