Selasa, 08 Mei 2012

Mahasiswa "Tanpa" Demo??


Mahasiswa ‘Tanpa’ Demo??




Apa pendapat kalian tentang judul diatas? Mahasiswa “Tanpa” Demo? Sepakat kah? Atau justru malah kontra? Ya, setiap manusia pasti mempunyai pola pikir dan alasan yang berbeda2.
Disini saya akan menuliskan pendapat saya mengenai judul diatas.
Sebenernya demo itu untuk apa sih? Ada yg menjawab “Kita ini kan mahasiswa, kalau bukan kita yang bukan menyalurkan aspirasi masyarakat, lalu siapa? Apakah kita harus diam saja melihat perkembangan pemerintah yang terus menindas rakyat kecil?” widiiiih kalo dari jawabannya sih itu pasti adalah mahasiswa yang suka banget ama yang namanya demo. Apakah dari jawaban itu merupakan mahasiswa yg kritis? Hhmmm mungkin..
Nah, adalagi nih jawaban kedua “Untuk apa sih demo? Koar2 ga jelas, yang ada bikin rusuh, anarkis, ngerusak fasilitas, mending belajar yang bener buat jadi seorang sarjana yang sukses, terus buka lapangan kerja buat rakyat2 miskin” Nah,, dari jawaban yg kedua, bagaimana pendapat anda?
Mungkin ada yg bilang kalo dari jawaban yang kedua, tuh orang kayaknya mahasiswa yang apatis banget,, hhmmm mungkin..
Setiap kali ada agenda nasional ataupun agenda “dadakan” dalam menyikapi kebijakan pemerintah, entah pusat maupun daerah. SMS para aktivis kampus begitu rajin menginformasikan hal tersebut.
Bahkan terkadang kuliah dan tetek bengek tentang kampus, terlupakan begitu saja. Terlalu asyik berbaur dengan mereka(pendemo). Suara gemuruh lantang di jalanan bahkan depan gedung DPR bergema. Memasang muka pedas dan “sok hebat”. Kebijakan ini itu disikapi dengan data valid ala agen perubahan:Ya, mahasiswa.
Belum lagi spanduk-spanduk yang mengandung pesan, mengumpat bahkan menyumpahi pemerintah untuk lengser. Dan terkadang proverti yang di gunakan seperti ban, spanduk ,dibakar di hadapan para Satpol PP maupun Polisi , yang (mungkin) telah bosan melihat mahasiswa tipe  seperti itu.
Demo adalah Suka Cita?
Menyambung hal diatas, setiap  peringatan hari nasional di negeri ini selalu disambut dengan suka cita yang beragam. Seperti Mayday dan  Hari Pendidikan Nasional belakangan ini.
Aksi demonstarsi yang begitu besar dan  berbau anarkis pun tak terelakkan. Namun sayangnya  pemerintah, tak “tertarik” dengan aksi tersebut. Apa  yang menjadi  keinginan  rakyat/mahasiswa dalam demo dimentahkan begitu saja.
Teriakan panas pun, hanya sekadar membuang energi yang tak terasa. Namun sangat terasa, ketika pasca demo. Letih dan lesu. Itu adalah pengalaman pribadi saya.
 Setiap kali demo, baik pemerintah yang “sok” dalam memberikan pandangan umumnya mengenai hal yang dipergunjingkan mahasiswa, merupakan bahasan, yang katanya(Gubernur,DPRD) juga acapkali menjadi  bahan dalam rapat. Dan sesegera mungkin akan, di tiindak lanjuti di lapangan.
Toh nyatanya, tak ada perubahan sedikit pun. Malah berbuntut pada masalah yang satu, kemudian  berkembang biak, seperti virus. Mahasiswa pun kecewa lagi. Pada  akhirnya, demo lagi, dan demo lagi. Terus seperti itu, tanpa adanya tindakan yang berarti. Sebatas retotika belaka.
Sekadar Usulan Aja :)
Ya, benar ini sekadar usulan. Demo sih boleh aja, tapi ga perlu anarkis juga kan, ngerusak fasilitas umum,, malah kalo kayak gitu, mahasiswa malah dipandang kayak “preman”. Saya lebih suka aksi damai, aksi yang tertib. Apakah dengan aksi damai bisa menyalurkan aspirasi? Tentu, justru malah rakyat memandang mahasiswa itu bukan kayak “preman” yg merusak sana sini. Kkatanya mahasiswa sebagai agent of change? Tunjukan dong kawan kawan mahasiswa, kalo kalian bisa menjadi penerus bangsa, dan bisa merubah bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan ngga dijajah. Kalian ngerasa ga sih, walaupun bangsa kita udah merdeka, tapi kok masih aja ya keliatannya dijajah? Misalnya, banyak kan sekarang pabrik2 dari korea yang membuka lapangan kerja di Indonesia, dan yang saya lihat, pekerja2 itu kebanyakan perempuan, saya lihat dan merasakan, mengapa pabrik tersebut harus keluar pada saat waktu magrib? Hingga yang waktunya digunakan untuk ibadah (untuk islam), tapi malah terjadi kemacetan disana sini karena pabrik2 yang mulai keluar. Sehingga pengguna kendaraan yang tadinya ingin melakukan ibadah, terhalang lah oleh kemacetan tersebut. Bukan hanya itu saja, pada saat pagi, waktunya orang pergi sekolah dan pergi bekerja, selalu dihalangi oleh kemacetan tersebut.
Masih banyak lagi contoh di bangsa ini yang tidak terlihat kalo bangsa kita sudah merdeka.
Jujur, saya lebih suka aksi kalo mengenai korupsi. Mengapa? Karena koruptor itu adalah penyebab utama mengapa bangsa kita menjadi miskin. Belakangan ini mahasiswa,masyarakat atau siapapun  yang sering demo agar bisa mencoba alternative ini. Masalah yang sering dihadapi di masyarakt tentunya di carikan solusi.
Seperti kemiskinan, tentunya diatasi dengan membuka lapangan pekerjaan, anak putus sekolah mungkin di bantu oleh mahasiswa yang paling “ngotot berkoar”dengan menyisihkan uang jajan(uang malming),atau mencari alternative lainnya yang lebih bijak dan baik, misalnya mahasiswa bisa menyalurkan ilmu nya untuk anak2 jalanan dengan membuka kegiatan belajar bersama sehingga mampu dirasakan oleh publik secara luas.
Itu kan lebih nyata. Kalau memang mengkiritisi pemerintah, tak zamannya lagi harus berkoar lantang dengan menggunakan  alat pengeras(seperti TOA). Perankan dan optimalkan media saat ini. Kalau surat kabar ataupun media tv, sudah ada yang mengontrol di balik layar. Ya, internet adalah , media global tanpa batas  dan mampu menembus ruang dan waktu. Bisa “mengangkat” seseorang dan bahkan “membanting”.
Ini adalah media tanpa kekangan,tanpa editorial yang berlebihan, tanpa paksaan mapun tekanan. Ini adalah media untuk menyuarakan suara demokrasi diera  digital saat ini. Ini yang perlu di propagandakan oleh mahasiswa yang “getol’ berdemo di luar sana.
Teknologi yang di perankan, bukan tenaga yang hanya menjadi kebanggaan .
Yuk mahasiswa-mahasiswa berpendidikan, kita ciptakan bangsa baru kita untuk menjadi bangsa yang yang maju, bangsa yang sehat, dan bangsa yang beriman, karena manusia yang  beriman pasti tidak akan menjadi koruptor. Ini sekadar usulan, semoga berarti!
Salam mahasiswa J

Dilema Pasca Kuliah??



Dilema Pasca Kuliah??




Tahun ajaran  2012 bagi  mahasiswa baru akan hadir dalam lingkungan perguruan tinggi (PT). Status  menjadi mahasiswa sudah di sandang, kebanggaan tersendiri karena telah menanggalkan seragam abu-abu bahkan “roh” UN tak lagi membayangi.
“Ini perguruan tinggi bukan lagi sekolah menengah atas maupun sejenisnya”. Mungkin itu dibenak  sebagian mantan pelajar yang telah berubah status.
Atmosfir akademis akan  dirasakan para agen intelektual  ini. Beragam aktivitas, dari menjalani OSPEK hinggga tetek bengek almamater wajib di ketahui. Begitupun dinamika kampus, hadir di hadapan mahasiswa baru—mata kuliah,organisasi, dunia kerja, pencapaian cita-cita—menjadi satu paradigma.
Selanjutnya, jurusan pilihan yang  ditempuh dalam pergurun tinggi umumnya “dianggap” peluang untuk memperoleh pekerjaan kelak setelah lulus.  Mulai  mengkonsentrasikan secara serius, bahkan tak sedikit mahasiswa bangga dengan jurusan yang  berlabel  “elite”: jurusan yang membutuhkan  anggaran tak sedikit. Fantastis!
Namun nyarisnya, ada juga seseorang yang kuliah tak tahu arah dan  tujuan. Tak banyak calon mahasiswa bingung ketika melanjutkan perguruan tinggi, bahkan harus kandas di tengah jalan, dengan alasan-alasan tak masuk akal.
Ketika melanjutkan ke PT hanya dijadikan sebagai ajang motivasi semata, atau sekadar  partisipan, mengikuti rekan sejawatan. Padahal, tanggungan yang dikeluarkan oleh orang tua begitu luar biasa.
Materi, waktu dan tenaga terbuang sia-sia. Apa yang diharapkan tak sejalan dengan tujuan awal. Tak bisa dipungkiri,  faktor eksternal lainnya pun turut sebagi pemicu kerancuan studi mahasiswa dalam perguruan tinggi.
Misalnya saja, gembar-gembor dari  institusi perguruan tinggi dengan  mengeluarkan “ultimatum”, dimana akan  mencetak mahasiswa yang siap kerja dan menjamin kesuksesan, di sela-sela selebaran media cetak dan Baliho.
Pada akhirnya  mahasiswa “terjebak” akan rayuan iklan PT, tak sedikit merasa kecewa, karena tidak sesuai dengan harapan!
Prestasi Teoritis
Memang menjadi kebanggan bagi mahasiswa terlebih orang tua ketika memperoleh prestasi akademis di perguruan tinggi. Pencapaian prestasi tentu idaman semua mahasiswa secara general.
Tak menutup kemungkinan, apapun akan di tempuh  demi memuluskan nilai yang diidamkan, meski  dengan cara-cara abnormal sekalipun!
Bahkan ‘jurus’ pendekatan dengan pengajar dan pejabat terkait di kampus (Dosen dan Rektor), menjadi sasarann manis mahasiswa. Mencoba melakukan cara semaksimal mungkin, atas nama nilai mata kuliah.
Tak bisa di pungkiri, prestasi yang seharusnya diperoleh dengan penuh perjuangan, pembelajaran yang matang, serta  dedikasi yang kuat, malah di peroleh dengan mudahnya. Sama seperti para elite di negeri ini.
Setidaknya, ini merupakan akar  kuat dari tumbuh suburnya praktik KKN, karena telah tertanam pada nilai-nilai pendidikan kita saat ini, termasuk perguruan tinggi dalam memeproleh nilai. Bukankah seperti itu?
Tak lebihnya, kuliah sekadar memburu nilai semata untuk memperoleh prestasi teoritis, ketimbang prestari aplikasi dalam masyarakat terkait bidang keilmuan.
Dilema  Lulus Kuliah
Sebuah  momok yang menakutkan, ketika para mahasiswa mulai memasuki jenjang terakhir dalam perguruan tinggi yang ditandai dengan penyusunan karya ilmiah.
Disibukkan dengan penelitian lapangan dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai praktik ala perguruan tinggi, yang tidak lain sebagai penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu  Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian.
Terkait terlaksana atau  bermanfaaatnya di masyarakat, itu urusan belakang, yang penting telah terwujud. Titik. Sekadar formalitas! Namun tibalah waktunya saat lulus kuliah dan telah meraih kesarjanaan, tak sedikit yang kewalahan dengan status yang dimilikinya.
Menjadi sebuah dilema besar saat lulus perguruan tinggi tiba , arah keprofesian yang diinginkan acapkali tak sejalan, bahkan berbanding terbalik. Realita sudah membuktikan bahwa pendidikan tinggi (kita) tidak mampu menjawab tantangan yang ada di lapangan, seperti pengentasan pengangguran maupun peningkatan lapangan pekerjaan, malah sebaliknya.
Segudang teori yang dimiliki sang agen perubah (baca: Mahasiswa) tak ada artinya ketika terjun dilapangan secara riil, tanpa terikat dengan nilai. Dilema  ini akan berbuah manis jika Si mahasiswa mau berfikir kedepan bahwa, status kesarjanaan lengkap dengan  keilmuan yang   dimiliki tak pernah berjalan dengan  “formalnya”, bukan seperti penyusuan skirpisi atau ujian akhir: tersistematis. Selalu penuh dengan rahasia dan kontradiktif.
Jadi, untuk menyikapi ihwal tersebut  seyogyanya mahasiswa bersikap fleksibel untuk menerima semua kemungkinan pasca lulus kuliah sehingga tidak menjadi sebuah dilema yang menyakitkan!

7 Alasan Mengapa Orang Berkuliah


7 Alasan mengapa orang berkuliah

Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau kuliah tentunya adalah idaman setiap orang. Meskipun tidak semua berfikiran seperti itu, namun mayoritas. Pendidikan yang semakin tinggi tentu dalam masyarakat umum lebih dipandang dan “terjamin”. Apalagi sebagai  orang tua, memiliki anak yang kuliahan hingga menyandang status “Sarjana” adalah idaman sekaligus kebanggan  yang tak ternilai harganya.
Begitupun dengan mereka calon dan telah menjadi mahasiswa, ada ketertarikan tersendiri sebagai seorang anak kuliahan.  Bukan hanya untuk belajar dan menerima segudang tugas dari para dosen, namun lebih dari itu lagi. Menjadi anak kuliahan memiliki “nilai lebih”.
Menemukan dan mengalami hal-hal baru dalam dinamika kampus yang penuh dengan gejolak akademis dan non akademis yang menantang. Ketertarikan untuk menjadi anak kuliahan, memang tak sekadar hanya untuk mengejar cita-cita semata, ada 7 alasan mendasar mengapa seseorang ingin kuliah, yaitu:
1.      Mencari Pekerjaan. 
Alasan ini paling utama dan  mendominasi seseorang kuliah. Bahkan dalam  persespsi mahasiswa, kuliah membantu untuk memperoleh pekerjaan, meskipun nantinya pekerjaanya terkadang tak sejalan  dengan keilmuan yang digeluti dalam perguruan tinggi sebelumnya. Ini lumrah terjadi dilapangan, pada intinya ingin dapat kerja dan bisa mencukupi kebutuhan hidup.
Belum lagi beberapa  kampus belakangan ini di media mempromosikan dan menyatakan siap untuk menghasilakn sarjanan yang siap kerja, dengan beragam jaringan lapangan kerja yang tersebar di perusahaan dalam negeri mapun luar negeri.
 2.      Meningkatkan SDM
Kuliah untuk belajar dan mau meningkatkan sumberdaya manusia, bagi sebagian mahasiswa saat ini menjadi prioritas kedua setelah posisi pertama diatas yang mendominasi versi saya pribadi. Jarang terdengar orang kuliah saat ini benar-benar ingin mau  meningkat SDM (belajar dengan serius) dan ilmunya bisa bermanfaaat untuk masyarakat.
Mahasiswa saat ini memang cenderung pragmatis, meskipun ada, itupun bisa di hitung dengan jari. Individualis dan egois, dua sisi sifat ini telah membentuk karakter manusia yang namanya mahasiswa.
3.        Status Sosial
kuliah bagi sebagian masyarakat  yang mampu atau berduit tentu merupakan sebuah simbol dan lambang “kemampuan”. Kuliah yang masih dipersepsikan sebagai  pendidikan  tinggi dengan biaya mahal plus fasilitas pelengkap lainnya, adalah kebanggaan dan kepuasan teresediri   bagi si Orang tua dan Si mahasiswa. Bahkan ada yang dengan jor-joran “mempublikasikan”  sanak keluarga ataupun anak sendiri kuliah sampai keluar negeri.
 4.      Berorganisasi
Ini pun menjadi pertimbangn yang cukup besar, mengapa seseoraang semangat untuk kuliah. Selain untuk menjalankan aktivitas perkuliahan yang formal, kegiatan ekstra atau organisasi untuk mengisi  waktu luang sangat memberikan kontribusi besar terhadap mahasiswa bersangkutan.
Bahkan bagi mahasiswa yang aktif dan serius menekuni organisasi, mampu  dan bisa menjadi  modal sekaligus jaminan ketika terjun di lapangan untuk memperoleh pekerjaan .
 5.      Mencari Relasi
Kuliah selain berhadapan dengan orang dengan yang berasal dari beragam daerah, suku, Ras, Agama, kuliah juga sarana tepat untuk mencari relasi baru. Terkadang kampus di jadikan ruang strategis dalam membangun jaringan, yang bertujuan untuk mengenal satu sama lainnya yang nantinya akan mengarah pada sebuah tujuan pasti .
Semakin banyak memiliki teman(relasi) semakin bagus. Ini bisa dimanfaatkan untuk mencari beragam informasi yang dibutuhkan oleh Si mahasiswa dikemudian hari. Apalagi saat ini, pertumbuhan jejaring sosial yang semakin merebak dikalangan mahasiswa. Dengan  mudah membuat sebuah komunitas di halaman Facebook, dan saling berinteraksi satu sama lain dengan beragam tujuan, dari membicarakan aktivitasnsehari-hari hingga tawaran pekerjaan, sangat membantu bukan!
6.      Partisifasi
Bagi pelajar yang baru melanjutankan ke jenjang PT, bahkan nyaris tak meiliki tujuan kenapa harus kuliah sebenarnya hanyalah untuk menghindar dari pekerjaan rumah ataupun belum siap menacri lapangan pekerjaan. Terkadang mahasiswa seperti ini hanyalah sekadar ikut-ikutan(partisifasi).
Kuliah hanya dijadikan sebagai trenseter, gagah-gahan dan biar dianggap keren(intelek), padahal dalam hati kecil begitu menentangnya. Mahasiswa seperti ini cenderung hanya menghabur-hamburkan uang dan suka berfoya-foya.
7.      Cari Jodoh  
Tak bisa  dipungkiri memang, meskipun sebagian mahasiswa malu untuk menyatakan tujuan kuliah mereka   sebagai ajang untuk  cari jodoh namun sudah banyak bukti yang telah lulus dari PT, akhirnya menjalin hubungan serius dan menindaklanjuti kejenjnag yang lebih serius(menikah).
 Ini fakta yang berbicara, menjalin asmara sesama anak kuliahan adalah hal objektif bisa kita saksikan. Mungkin karena sudah merasa cocok dan satu pandangan.

Intelektual Minus Pemikir Kritis


Intelektual Minus Pemikir Kritis

Mahasiswa merupakan identitas ‘jabatan’ sekaligus status  yang diinterprestasikan sebagian  orang sebagai  pelajar yang luar biasa dan ‘wah’.  Menjadi kebanggan tersendiri bagi calon mahasiswa  yang telah lulus mengenyam pendidikan Sekolah Mengenah Atas(SMA), terlebih kepada pelajar yang akan melanjutkan perguruan tinggi dengan  beragam embel-embel dan gaung prestasi( PTN/PTS) )ternama dinegeri ini yang mencetak berbagai lulusan terbaik, Tentunyadengan kiprah tersebut, secara langsung menarik minat para orangtua murid untuk melanjutkan pendidikan anak-anak mereka,  dengan  sebuah harapan dan impian yang tingi.

Memasuki dunia kampus, tentu saja memiliki kesan tersendiri bagi mereka yang baru menginjakkan kaki, terlebih lagi para penyandang status mahasiswa. Sangat jelas bisa di perhatikan keseharian mahasiswa di beberapa perguruan tinggi.
Kepercayaan diri yang tinggi(self confidence) pun menjadi  nuansa hidup yang dimiliki oleh personal mahasiswa itu sendiri. Daya kritis dan nalar yang tinggi selalu diimpikan  dan harus ditumbuh kembangkan oleh insan intelektual ini. Tak sedikit  mahasiswa yang me-latah-kan diri dengan situasi kampus yang dinamis dan progresif.
Mencari jati diri sebenarnya dengan berbagai aktivitas organisasi baik internal maupun eksternal kampus. Tentu dengan output melahirkan sosok kepribadian yang cekatan, responbility yang kuat  dan tanggap dengan pelbagi permasalahan sosial yang krusial.
Menapaki sepak terjang mahasiswa, tentu berbeda-beda sesuai dengan minat dan bakat mereka. Tak khayal ingin membangun citra diri . Dengan berbagai jalur alur  pemikiran   preventif yang matang dan mantap.
Mungkin salah satu contoh realnya yang bisa kita amati bersama  yaitu mahasiswa yang  mengikuti rekam jejak sang senior  atau teman sejawatan yang sering melakukan aksi atau berkoar-koar didepan “rumah rakyat” maupun fasilitas umum.
Tentu saja keikutsertaan mahasiswa yang akan menjadi calon mahasiswa tulen alias aktivis tersebut adalah ingin menggapai eksistensi atau sekadar  popular, bahkan  hal tersebut dilakukan untuk menanggulangi label mahasiswa sebagai agent of change dan agent of control social .
Dengan ‘menumpangi’  pemikiran mahasiswa lain yang memang betul-betul kritis tanpa harus ikut-ikutan, melainkan  kesadaran yang tinggi serta kepedulian terhadap situasi dan kondisi negara saat ini, setidaknya bisa menjadi “kendaraan” yang efektif dan efesien bagi mahasiswa bersangkutan.
Mungkin  sebagaian dari kita menilai  sah-sah saja , karena selama ini membangkitkan kesadaran mahasiswa bermula dari keikutsertaan, bukan hanya sekadar teori  dari buku dan menunggu sampai mahasiswa bersangkutan benar-benar memiliki  kesadaran yang tinggi, melainkan harus disulut sedikit demi sedikit, pada  akhirnya paham betul apa yang mereka lakukan, memang  beralasan dan untuk kepentingan siapa.  Yang terpenting adalah minat untuk berubah menjadi mahasiswa yang berguna dan bermanfaat  bagi bangsa kedepannya.
Namun sangat disayangkan  dan berbanding terbalik bagi mahasiswa-mahasiswi yang  memang fokus mengenyam pendidikan dibangku perkuliahan. Menomorsatukan  kuliah, memperoleh nilai bagus/cummulaud, dikenal(akrab) para dosen, yang terpenting lagi mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan pendidikan yang dijalani setelah akhir studi nanti, adalah motif utama pendidikan pasar yang telah dirancang para penguasa pendidik .
Alur paradigma yang pragmatis terlalu sering terbesit dibenak mahasiswa. Disatu sisi prestasi akademis merupakan sebuah tuntutan yang harus dikejar dan dicapai, meskipun  sebagian besar dibalut segudang teori formal yang mengikat pikiran kritis  .
Di sisi lain pemikiran kritis sangat dibutuhkan untuk membentuk karakter seorang mahasiswa agar menjadi manusia yang beradab, dengan memperdayakan  pemikiran yang logis demi  kepentingan publik. Namun nyatanya saat ini, masih banyak ditemukan mahasiswa “jadi-jadian”  antara pemikir kritis asli dan pemikir kritis bajakan. Segalanya serba terselubung dan penuh  dengan intrik.

Sosial Budaya: Valentine Konsumerisme Bertopeng Kasih Sayang


Sosial Budaya
Valentine: Konsumerisme Bertopeng Kasih Sayang

Minggu kedua Februari adalah “Hari Raya” yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian remaja. Ya, hari spesial, khususnya bagi anak-anak baru gede (ABG), di kota-kota besar hampir di seluruh dunia. Bagi mereka, hari itu adalah Hari Pink. Serba merah muda.
Mereka “percaya” hari itu adalah hari kasih sayang. Dekor hati yang terbuat dari balon (plastik) warna merah muda dengan seorang bocah kecil bugil membawa busur dan panah, tampak menghiasi etalase-etalase mal dan plaza hotel berbintang.
Semua mal, tempat nongkrong, karaoke, diskotik, stasiun televisi -khususnya dalam program infotainmen-, bahkan lokalisasi pelacuran pun turut memeriahkan produk budaya Barat itu dengan tampilan merah muda. Produk-produk seperti coklat, permen, es krim, t-shirt, bunga dan lain-lain, pun dibuat para pebisnis dengan semuanya serba merah muda.
Dari sini saja, kasat terlihat Valentine’s Day yang merupakan produk Romawi kuno itu dimanfaatkan kapitalisme liberal yang berbusana modern, bertopeng westernal.
Seorang penjual bunga mawar di sekitar Mal Seibu Blok M, Jakarta Selatan, Amrizal (20 tahun), mengaku dagangannya sangat laku keras menjelang Valentin 2009 kemarin. Di kampung halamannya, Maninjau, Sumatera Barat, Amrizal tak pernah merayakan Hari Valentin.
Ia baru tahu setelah dua tahun merantau di Jakarta, kalau upaya menyatakan kasih sayang itu dengan cara memberi bunga. Atau momentum Valentin bisa dimanfaatkan seseorang untuk “nembak” (menyatakan cinta atau mengukuhkan hubungan) kepada lawan jenisnya.
Memang pesta Valentin di Indonesia lebih marak dirayakan di perkotaan, khususnya kota-kota besar. Kakeknya Amrizal bercerita, di zaman Bung Karnodoeloe, tak ada yang berani merayakan Hari Valentin, karena ritual ini termasuk produk budaya Barat yang dilarang Bung Karno.
Maraknya perayaan pesta Valentin di Indonesia, mulai berkibar sejak era 1970-an setelah rezim Soeharto berkuasa, terutama setelah “dihalalkan” masuknya investasi asing seperti KFC, Mc Donald dan Pizza Hut.
Hari spesial bagi anak-anak muda perkotaan ini tentu diwarnai dengan pesta hura-hura, yang efek mudharatnya lebih besar. Apalagi Narkoba dan Miras (minuman keras) sudah mewabah di masyarakat. Di luar sana, Indonesia sudah dikenal sebagai produsen narkoba.
Akibat lemahnya penegakan hukum di negeri ini, dapat saja perayaan Valentin disalahgunakan dengan pesta seks dan Narkoba.
Cerita Awal
Hari yang “katanya” untuk berkasih sayang ini menurut sejarahnya adalah tradisi gereja. Diperkenalkan pertamakali pada tahun 496 Masehi oleh Paus Gelasius I, yang menjadikan ritual Romawi Kuno ini sebagai perayaan gereja untuk menghormati Santo (St.) Valentine yang wafat pada 14 Februari 269 M. Dan Paus Gelasius I mengubah upacara ini dengan nama Saint Valentine’s Day.
Berdasarkan Catholic Encyclopedia (1908), sebenarnya terdapat tiga orang yang diberi nama St Valentine: Pertama, seorang pastur dari Roma yang mati sebagai martir; Kedua, pastur lainnya wafat di Afrika Utara; Dan ketiga, seorang uskup dari Terni (Italia) yang mendapat julukan St. Valentine.
Istilah “valentine” dalam bahasa Latin disebut “valentinus” artinya gagah perkasa. Banyak orang Romawi menamakan anaknya dengan “Valentine”, sebagai julukan bagi raja Romawi yang dipuja ketampanan dan kegagahannya, yaitu raja Nimrod.
Banyak gadis tergila-gila padanya. Tak hanya para perawan jelita, ibu kandung Nimrod pun, Semiramis, tak mampu menyembunyikan syahwatnya. Tanpa malu, Semiramis pun mengawini putra kandungnya itu. Pada 15 Februari, Nimrod dan ibunya meminta maaf atas cinta kasih mereka yang haram itu.
Maka pada setiap perayaan Valentine’s Day, acap kali kita lihat ada lambang hati dan seorang anak kecil telanjang, yang disebut Cupid membawa busur panah. Si Cupid pembawa busur panah itu adalah gambaran dari Nimrod saat masih kecil. Panah Cupid yang tampil bugil itu, tak hanya membuat orang saling jatuh cinta, tapi juga membangkitkan nafsu birahi.
Beda Budaya
Di negeri-negeri yang kuat memelihara akar budayanya, Valentine’s Day tidak dirayakan pada 14 Februari. Kenduri Valentine di Cina mengikuti penanggalan Cina yang disebut “Qi Shi”, yang artinya 77, dan dirayakan pada tanggal 7 bulan 7 penanggalan Imlek. Di negeri itu, hajatan ala Hari Valentin ini sudah berkembang sejak tahun 206 sebelum Masehi, persisnya sejak zaman dinasti Han.
Kita sepakat secara historis, Cina menjadi negeri pertama di dunia yang merayakan hari kasih sayang. Sedangkan Imperium Romawi baru mengadakan Valentin pada tahun 269 M (sesudah Masehi), yang diperkenalkan pertamakali pada tahun 496 M oleh Paus Gelasius I untuk menghormati St. Valentine yang wafat pada 14 Februari 269 M.
Beda Cina, beda pula Jepang dan Korea. Hari Kasih Sayang di Korea dan Jepang dirayakan pada 14 Maret. Mereka menyebut Hari Raya itu sebagai hari Giri-Choco. “Giri” berarti wajib, dan “choco” berarti coklat. Pada hari itu para gadis diwajibkan memberi coklat kepada teman-teman pria. Dan kaum lelaki membalasnya dengan memberi hadiah coklat berwarna putih, atau hadiah lainnya yang warnanya putih. Maka bagi kawula muda Jepang dan Korea, 14 Maret disebut sebagai “White Day” atau hari putih.
Di Brazil (negara Amerika Latin) hari kasih sayang dirayakan pada 12 Juni, yang dikenal dengan sebutan “Dia Dos Namorados” (hari cowok-cewek). Sedang di Kolombia walau satu daratan dengan Brazil, mereka merayakan hari kasih sayang di bulan September dengan nama “Amigo Secreto” (sobat rahasia). Si pemberi hadiah pada peringatan itu tak boleh memberitahu identitasnya.
Di negeri-negeri Timur Tengah yang mayoritas beragama Islam dan teguh pada akidah Islam, seperti Saudi Arabia, Kuwait, Yordania dan Mesir, tidak merayakan hari kasih sayang. Karena memang ajaran Islam mewajibkan umatnya untuk saling menyayangi dan mengasihi, tak hanya dengan sesama manusia, juga sesama makhluk ciptaan Allah SWT, tanpa mengenal hari atau melalui perayaan tertentu.
Fatwa Haram
Jelas sudah, Hari Valentin bukan budaya kita dan bukan pula ajaran agama kita. Yang masih dipertanyakan hingga kini, perlukah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa haram perayaan Valentine’s Day ini Dan apa alasannya
Biasanya, para ulama akan memfatwakan sesuatu menjadi haram jika lebih banyak berefek mudharat, begitu pula Valentine’s Day. Dari berbagai kisah tentang Valentin dan sejarahnya dari kepustakaan Barat dan Kristen, seperti secara ringkas dituangkan di atas, jelas ada fakta-fakta sensasi amoralistik dan naif dari perayaan Valentin. Belum lagi dampak moral-sosialnya yang kini sudah sangat terasa bagi masyarakat muslim.
Maka wajib kiranya MUI segera membuat fatwa haram bagi umat Islam untuk merayakan hari kasih sayang tersebut. MUI seharusnya jangan hanya sibuk dengan fatwa-fatwa sumir, seperti fatwa rebounding rambut atau tembakau. Sudah waktunya fatwa untuk menjaga akidah dan moral umat Islam Indonesia dari gerusan imperialisme budaya, seperti perayaan Valentin dikeluarkan.

Sosial Masyarakat Tentang Masalah Larangan Merokok


Sosial Masyarakat Tentang Masalah Larangan Merokok

 

Masyarakat DKI Jakarta dibuat kaget, bukan oleh serangan wabah DBD, bukan pula serangan teroris; tetapi oleh rokok. Pasalnya Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso melansir kebijakan baru bertajuk larangan merokok di tempat umum. Yang membuat publik kaget, bukan karena larangannya, tetapi lebih karena hukumannya yang setinggi langit, Rp. 50 juta dan kurungan 6 bulan. Keterkejutan publik, secara sosiologis layak dipahami. Alasannya, hingga detik ini, bahaya rokok di Indonesia masih menjadi "isu pinggiran". Pemerintah, dan bahkan tokoh masyarakat (seperti ulama) juga masih setali tiga uang. Paling banter ulama di Indonesia hanya memberikan fatwa merokok makruh hukumnya. Berbeda dengan jumhur ulama di berbagai negara di Timur Tengah, bahkan Malaysia dan Brunei Darussalam; yang memfatwakan bahwa merokok haram hukumnya. Ulama terkenal Syeikh Yusus Qordhowi termasuk ulama yang mengharamkan merokok (baca Fatwa-Fatwa Kontemporer). Mungkin masyarakat sudah mengerti bahayanya, karena dalam setiap bungkus rokok ada peringatan: merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan ganguan kehamilan dan janin. 
Dari sisi kesehatan, bahaya rokok sudah tak terbantahkan lagi. Bukan hanya menurut WHO, tetapi, lebih dari 70 ribu artikel ilmiah membutikan hal itu. Dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Berbagai zat berbahaya itu, adalah tar, karbon monoksida (CO), dan nikotin. Anehnya pula, dampak asap rokok bukan hanya untuk di si perokok aktif (active smoker) saja. Ia pun punya dampak sangat serius bagi perokok pasif (passive smoker). Orang yang tidak merokok (passive smoker), tetapi terpapar asap rokok akan menghirup dua kali lipat racun yang dihembuskna pada asap rokok oleh si perokok. Sangat tidak adil; tidak merokok, tetapi malah menghirup racun dua kali lipat. Maka, salah satu cara untuk membatasi perilaku merokok semau gue, WHO mencanangkan program "Kawasan Tanpa Rokok" (KTR) di tempat-tempat umum. Progam seperti ini lazim diterapkan di berbagai negara, termasuk di ASEAN; Singapura, Malaysia bahkan Vietnam. Di Malaysia, organ merokok di tempat umum didenda 500 ringgit, di Bankok didenda 2.000 baht. Oleh sebab itu, kebijakan Gubernur DKI Jakarta menjadi rasional dan layak mendapatkan dukungan publik. Hanya, yang perlu dipertanyakan adalah, selain besarnya denda, juga bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Sebab, berbagai hal kasat mata dan lebih konkrit dampaknya (banjir, sampah, dan kemacetan) hingga kini tidak pernah beres, apalagi masalah rokok? Kebijakan KTR yang digagas oleh Pemda DKI Jakarta, sebenarnya, bukan yang pertama kali. Peraturan Pemerintah No. 81/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang kemudian diubah menjadi PP No. 19/2003; sudah lebih dahulu mengatur tentang larangan merokok di tempat-tempat umum, Tetapi, sialnya, PP
tersebut tidak bisa memberikan sanksi. PP tersebut malah memerintahkan agar setiap Pemda di Indonesia membuat aturan tersendiri tentang KTR (Perda). Apalagi WHO sekarang sudah menerapkan konvensi bernama FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Saat ini, FCTC sudah ditandatangani oleh lebih dari 160 negara anggota WHO, dan lebih dari 40 negara telah meratifikasinya, Sekarang FCTC sudah menjadi hukum internasional. Sayangnya, Pemerintah Indonesia, sebagai salah satu pengagas dan legal drafter, hingga batas akhir juni 2004, tidak menandatangani FCTC!

FCTC, selain mengatur soal larangan merokok di tempat umum, setiap Pemerintah bahkan "dibimbing" untuk menanggulangi dampak tembakau secara elegan, dan komprehensif. Misalnya menaikan cukai rokok, larangan iklan di media massa dan promosi dan larangan penyeludpan (smuggling). Menaikan cukai rokok, merupakan instrumen penting, selain untuk membatasi segmentasi perokok, juga untuk meningkatkan pendapatan negara. Tapi sungguh ironis, mayoritas perokok di Indonesia adalah orang miskin. Menurut survey Bappenas (1995), orang miskin justru mengalokasikan 9% total pendapatannya
untuk rokok. Betapa besar manfaatnya, jika dana itu digunakan untuk kesehatan, pangan, atau pendidikan. Rokok memang memberikan kontribusi signifikan, berupa cukai, bayangkan, tahun 2004 cukai rokok sebesar Rp. 27 trilyun. Belum lagi kontribusi sector pertanian dan tenaga kerja. Namun, itu semua sebenarnya hanya ilusi belaka.

sumber: (Majalah Tarbawi, Edisi 104 Th. 7/Shafar 1426H/17 Maret 2005)
Oleh Tulus Abadi, SH
Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Komnas PMM
Penerima Tobacco Control Fellowship Programs, Bangkok 2003

KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME REFLEKSI DARI KETIDAKTERTIBAN SOSIAL


KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME REFLEKSI DARI KETIDAKTERTIBAN SOSIAL

Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif).
Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi.

Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salahsatu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Praktek KKN ini merupakan salahsatu penyakit akut yang terjadi dimasa orde baru yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas saja yaitu anggota keluarga dan teman dekat saja.

Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.

Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini.

Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.

Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.

Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.

Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus matarantainya.

Praktek korupsi seakan menjadi penyakit menular yang tidak ditakuti seperti halnya flu burung. Adakalanya disebabkan karena pemenuhan kebutuhan seperti yang dilakukan oleh pegawai rendahan, tapi ada juga yang karena pengaruh budaya materialistis menumpuk kekayaan seperti koruptor-koruptor dari kalangan pejabat tinggi yang kehidupannya sudah lebih dari "mewah". Karena adanya pemerataan korupsi maka tidak salah kalau orang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Artinya pokok permasalahan dari korupsi adalah bagaimana pola pikir masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi ? Apakah dilatarbelakangi budaya materi dengan menumpuk kekayaan atau secukupnya sesuai kebutuhan dan bila berlebih akan disalurkan bagi yang membutuhkan sebagaimana ajaran agama dan etika moral.

Hal ini berarti bicara bagaimana pola tingkah laku, peresapan ajaran agama, moralitas dan hal-hal lain yang mempengaruhi mental seseorang. Begitu pula halnya dengan kolusi dan nepotisme yang akar permasalahannya terletak pada kekalahan dari idealisme sosial yang berisi nilai-nilai yang dapat menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Kolusi dan nepotisme telah menjadi kebiasaan dalam struktural masyarakat kita. Hal ini bisa kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan merupakan barang yang mahal saat ini. Tapi untuk sebagian orang yang melewati jalan belakang ini sangatlah mudah. Misalnya cukup dengan membayar sejumlah uang dalam jumlah besar atau dengan membawa surat sakti dari "orang kuat" atau melobi keluarga dekat yang berada dalam struktur lapangan kerja yang diinginkan. Bila ini diimbangi dengan kualitas yang bagus tidak masalah, walaupun rasa keadilan tetap masih ternodai. Tapi kalau kualitasnya jelek, ini sama saja dengan menempatkan orang yang bukan ahlinya yang kelak justru akan menambah pada kehancuran. Parahnya hal ini seakan telah menjadi prosedural bukan saja diinstitusi swasta tapi juga di pemerintahan.

Pertanyaan berikutnya, apa ada jaminan pelaku tersebut dijerat oleh hukum? Atau justru lepas dan ia akan terus membina kondisi ini dan akan terjadi regenerasi terus-menerus. Lalu apakah masyarakat akan menentang jalur-jalur belakang ini atau justru lahir sikap pembiaran karena ternyata juga telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat saat ini. Jadi jelaslah bahwa upaya preventif dari pemberantasan KKN adalah dengan menciptakan tertib sosial dalam arti adanya tertib nilai-nilai yang harus diaplikasikan dalam struktur masyarakat. Dengan berubahnya pola tingkahlaku yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan, agama dan etika moral akan lebih efektif dibandingkan hanya dengan aplikasi Undang-undang saja. Jadi perlu adanya keseimbangan antara tertib sosial dan tertib hukum untuk dapat mencapai reformasi yang mensejahterakan masyarakat.