Sosial Budaya : Nasib Malang TKI
Kisah memilukan di
negeri ini ternyata tiada akhirnya. Seakan tak habis-habisnya bangsa ini
diterjang permasalahan. Dari tindak pidana korupsi, mafia hukum,makelar kasus,
bencana alam, kemiskinan, konflik horizontal, rendahnya pendidikan, dan muncul
lagi permasalah klasik yang belum terselesaikan. Ya, penganiayaan TKI/TKW yang
terjadi di Arab Saudi.
Menjadi agenda pemberitaan media beberapa miggu
ini, bahkan tak terhenti sedikit pun dari jalan cerita yang begitu runtut untuk
memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia, mengenai keadaan warga kita
menjadi korban kekerasan dibatas ambang kemanusiaan.
Terlahir menjadi seorang tenaga kerja alias buruh,
tentunya bukan sebuah pilihan yang diinginkan oleh siapapun. Memiliki pekerjaan
yang layak dan menjamin masa depan, adalah harapan dan cita-cita siapapun
dewasa ini. Ketika lapangan kerja terbatas, di tambah lagi
kebutuhan hidup yang begitu kompleks, mau tidak mau mengharus kan untuk
masyarakat bekerja ekstra.
Apalagi dengan latar belakan pendidikan yang tidak mumpuni.
Maka alternatif lain pun ditempuh sebagai solusi. Seperti menjadi seorang
tenaga kerja di negeri orang.Tragis memang. Setidaknya itu menjadi suratan
takdir para tenaga kerja yang menjajakan jasa sebagian besar menjadi pembantu
rumah tangga.
Penganiayaan yang dialami di luar negeri seperti Sumiyati,
buruh migran asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, mulutnya digunting oleh majikan
di Arab Saudi—adalah contoh kongket untuk kesekian kali terjadi pada perempuan
Indonesia yang bekerja di negeri sebrang sana.
Keabnormalan tersebut bukan hanya sekali terjadi,
bahkan berkali-kali terjadi di tempat para pahlawan devisa tersebut
mengais rezeki untuk keluarga dan bangsa ini. Tak pelak, keluarga korban pun
gerah dan menuntut agar majikan yang melakukan tindak kekerasan tersebut
dihukum seberat-beratnya , sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Namun suara sumbang dari warga kelas bawah, seperti
keluarga Sumiyati, tak bakalan sampai di negeri jiran sana. Apalagi, dari
keluarga dengan latar belakang ekonomi terbatas. Meskipun sumpah serapah
dilayangkan beratus kali. Saat ini, untuk “membeli” keadilan dan hukum
dibutuhkan dana yang cukup.
Bagaiamana dengan keadilan yang ingin didapat oleh
Sumiyati, yang harus menelan kepahitan sebagai tenaga kerja. Kisah
Sumiyati pun akan menjadi pelengkap kekerasan TKW yang terjadi sebelumnya.
Dimana tidak mendapatkan perlindungan ekstra dari negara sendiri.
Memprihatinkan memang. Disatu sisi tugas negara dalam
menjamin warga terhadap pekerjaan dan penghidupan yang layak, adalah hal pokok
dan mendasar.
Kasus demi kasus yang melampaui batas perikemanusiaan atas
tenaga kerja Indonesia , khususnya di di Arab Saudi dengan jumlah TKI terbanyak
mencapai 960.000 orang. Jumlah kasus 22.035(Sumber:BNP2TKI,2008).
Pelanggaran hak asasi manusia(HAM) yang tak mengenal
rasa kemanusiaan tersebut , sesungguhnya menjadi pembelajaran bagi pemangku
kekuasan dinegeri ini dalam menyikapinya.
Namun sayangnya pemerintah tidak mau belajar dari
pengalaman, sehingga warga negara sendiri pun harus menjadi korban kebiadapan
para majikan TKI/TKW ,dimana mencari nafkah.
Sikap Pemerintah
Peran negara dalam meningkatkan taraf hidup warga Negara Indonesia yang telah termaktub dalam UUD 1945 yang menyebutkan, “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Peran negara dalam meningkatkan taraf hidup warga Negara Indonesia yang telah termaktub dalam UUD 1945 yang menyebutkan, “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Sangat berbanding terbalik dengan amanat konstitusi
diatas. Jangankan pekerjaan yang layak, perlindunhgan khusus untuk warga negara
khususnya para TKI/TKW pun begitu mengambang di permukaan.
Para TKI seakan menjdi sapi perahaan , untuk menimbun
tabungan sehingga lekas bisa membayar hutang-piutang negeri ini. Namun apa
kontribusi Negara khususnya penggerak Negara(Pemerintah) dalam menyikapi hal
tersebut? Kemungkinan besar adalah dengan jalan diplomasi.
Yang menjadi “andalan” pemerintah dalam meredakan situasi
khususnya para keluarga korban. Sehingga terlihat pemerintah serius dalam
menangani tindak kekerasan tersebut.
Harapan kita semua agar sesegera mungkin pemerintah
mengambil sikap tegas. Jangan menjadi penakut, dan takluk kepada
negara “bersangkutan” yang telah meludahi jiwa kemanusiaan
Indonesia.
Tentunya pemerintah tak boleh meringankan permasalahn ini.
Cukup sudah bangsa ini dihina dan dianggap lemah. Kalau pemerintah masih
‘melempem” , maka bersiap-siaplah untuk menikmati kejadian yang tidak
mengenakkan dikemudian hari. Sikap kongret harus secepatnya dilaksanakan oleh
pimpinan negara ini. Sehingga masalah klasik TKI tidak lagi menghiasi derita
rakyat Indonesia.
Selain itu pula yang menjadi PR pemerintah sebagai pemangku
kekuasaan, agar secepat mungkin merapatkan barisan untuk mencari solusi yang
terbaik.
0 komentar:
Posting Komentar