Stabilitas Sosial
Politik
Sejak awal Pak Harto mencanangkan landasan dan tonggak-tonggak kebijakannya
yang sangat tegas, padat dan memang merupakan pondasi yang kokoh, yaitu Trilogi
Pembangunan.
Salah satu pondasi, dan menurut saya yang terpenting adalah Stabilitas
Sosial Politik. Tanpa ketenangan dan kepastian tidak mungkin kita merencanakan
dan melakukan apapun.
Namun stabilitas sosial politik saja
adalah bangunan kokoh yang belum ada isinya. Karena itu, rumah yang kokoh ini
bisa diisi dengan hal-hal yang busuk. Saya khawatir bahwa sejarah akan mencatat
era Orde Baru sebagai kehidupan negara bangsa kita yang berlangsung dalam rumah
yang kokoh, tetapi kehidupan bernegara dan berbangsa berlangsung dengan
menanamkan benih-benih yang sekarang secara sepenuhnya menjadi malapetaka yang
membuat kehidupan kita bagaikan tanpa arah, tanpa moral, chaos dan anarki.
Bidang ekonomi telah saya kemukakan dalam tiga buah artikel sebelumnya.
Dalam bidang stabilitas, ciri pokoknya ialah pemerintahan tangan besi yang
diktatorial, menanamkan rasa takut dan bersifat represif. Penanganan yang
demikian untuk kondisi yang kalut setelah peristiwa dan kerusuhan G-30-S memang
sangat dibutuhkan, dan memang terbukti sangat kondusif dan berhasil pada
tahap-tahap awalnya.
Buat mereka yang tidak peduli terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan, melainkan hanya ingin
hidup tenteram, serba kecukupan dan sejahtera, serta tidak mempunyai kebutuhan
memperoleh kebebasan menyatakan pendapat dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan
penyelenggaraan negara, stabilitas yang demikian dirasa nyaman. Lebih nyaman
lagi buat mereka yang sedang memegang kekuasaan. Kenyamanan inilah yang menjadi
batu ujian, apakah stabilitas dipakai untuk kepentingan dirinya sendiri (power tends to corrupt) ataukah kekuasaan dihayati
sebagai amanah yang harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyatnya
secara adil dan beradab.
Kalau yang terakhir ini yang menjadi tujuan dari kekuasaan, kita seharusnya
segera menyadari bahwa kebebasan yang bertanggung jawab adalah kebutuhan hakiki
manusia. Maka pemerintahan tangan besi yang diktatorial dan represif tidak
dapat bertahan selama-lamanya. Karena itu, pemerintahan tangan besi dibutuhkan
untuk mengembalikan kekalutan pada ketertiban, dan sangat diperlukan guna
melakukan pembangunan selama rakyatnya masih belum dapat menggunakan kebebasan
secara bertanggung jawab. Sehingga sambil membangun secara perlahan dan
terencana rakyat harus dididik, dimatangkan jiwanya dengan maksud memberikan
pemahaman bahwa kebebasan tanpa rasa tanggung jawab hanya akan mengakibatkan
kekalutan dan anarki.
Yang berlangsung selama Orde Baru ialah kurang atau hampir tiadanya
kebijakan pendidikan politik kepada rakyat kita yang tujuannya adalah
mendemokrasikan kehidupan berbangsa dan bernegara kita secara bertanggung jawab
dan beradab.
Setelah 32 tahun memang ternyata rakyat tidak dapat menahan lebih lama lagi
pemerintahan tangan besi yang opresif, sehingga pecahlah gejolak yang
mengakibatkan lengsernya Pak Harto.
Dr. BJ Habibie sebagai penerusnya Pak Harto melakukan politik bandul. Dari
pemerintahan tangan besi yang otoriter, Presiden Habibie memberlakukan
kebijakan politik yang sangat ekstrem bebasnya.
Timor Timur dilepas dalam waktu sangat singkat tanpa memperhitungkan sama
sekali reaksi yang dapat ditimbulkan pada para prajurit kita yang
mempertaruhkan jiwanya selama 21 tahun, yang menyaksikan rekan-rekannya tewas
dicincang dengan cara-cara yang sangat kejam dan biadab dalam pertempurannya
melawan Fretillin. Kita tidak membutuhkan pengetahuan psikologi untuk memahami
bahwa setelah 21 tahun lamanya disuruh mati-matian, memberikan jiwa raganya
mempertahankan Timor Timur, dan lantas mendadak disuruh meninggalkannya supaya
menjadi negara merdeka yang lepas dari NKRI, setiap manusia akan sangat gusar
yang pelampasiannya bisa mengambil bentuk yang sangat dahsyat.
Inilah yang terjadi dengan Timor Timur, yang sambil menarik diri, sambil
melakukan bumi hangus. Tidak ada satupun bangunan yang utuh di Dilli seperti
yang dikeluhkan oleh Xanana Gusmao kepada Gus Dur di Istana Merdeka yang saya
hadiri. Ketika itu saya berkesempatan menjelaskan kepada Xanana bahwa
pembumi-hangusan Timtim sebagai akibat kebijakan yang ekstrem seperti yang
dilakukan oleh Habibie atas tekanan PBB sudah diramalkan oleh Ibu Megawati
(ketika itu hanya Ketua Umum PDIP, belum Wapres atau Presiden). Ceriteranya
adalah sebagai berikut,
Wakil Sekjen PBB yang khusus ditugasi untuk referendum di Timtim, Jamseed Marker
selalu mengajak diskusi dengan Ibu Mega yang minta didampingi oleh Laksamana
Sukardi dan saya. Demikian juga dengan Menlu Australia Alexander Downer. Ketika
ditanya pendapatnya tentang referendum di Timtim beserta jadwal waktunya,
Megawati selalu mengingatkan tentang reaksi yang bisa timbul dari para prajurit
yang 21 tahun lamanya disuruh mempertahankan Timtim sebagai bagian dari NKRI
dengan seluruh jiwa raganya.
Ternyata Megawati benar. Pembumi-hangusan
Timtim berlangsung spontan, bukan atas perintah Jenderal Wiranto yang ketika
itu menjabat sebagai PANGAB. Beliau sendiri terkejut,taken by
surprise oleh pembumi-hangusan Timtim oleh para prajurit kita.
Justru Megawati yang bisa merasakan sebelumnya.
Saya kemukakan ini untuk membagi pendapat saya dengan para pembaca tentang
kekurangan yang mendasar dari politik stabilisasi era Orde Baru. Kekurangan itu
adalah rencana mendemokrasikan secara bertahap. Kekurangan itu adalah jiwa
besar yang secara sangat sadar melepaskan kekuasaannya yang absolut secara setahap
demi setahap ke arah demokrasi sambil memberikan pendidikan, bahwa kebebasan
harus disertai tanggung jawab.
Tidak ada orang yang mengatakan bahwa
kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini, setelah kita memasuki era
dan suasana yang dinamakan “reformasi” adalah baik dan nyaman, serta berjalan
sebagaimana mestinya seperti yang kita inginkan bersama. Semua pemimpin dipilih
secra langsung melalui Pilkada di mana-mana. Setiap 3 hari ada satu Pilkada
yang keseluruhannya sampai sekarang telah menelan biaya Rp. 200 trilyun.
Kebanyakan Pilkada mengakibatkan perkelahian oleh pihak-pihak yang tidak dapat
menerima pemenangnya. Kehidupan bernegara kita menjadi chaos dan anarkis.
Mengapa? Kita ibaratkan rakyat Indonesia adalah puluhan juta per (pegas)
yang sangat kuat. Per-per ini ditindas oleh lempengan-lempengan besi yang
masing-masing setebal 10 cm. Memberi kelonggaran kepada per-per yang tertindas
supaya bisa mekar secara teratur dan terkendali ialah dengan cara mengambil
satu lempengan. Dengan demikian, per-per itu bergerak naik, memperoleh ruang
setebal 10 cm. Kita saksikan dan rasakan apakah kebebasan yang 10 cm ini sudah
bisa dinikmati dengan tanggung jawab yang sepadan. Setelah itu kita ambil satu
lempeng lagi, sehingga kebebasannya menjadi 20 cm. Maka ketika kebebasan sudah
dianggap memadai, per-per tersebut tetap di tempat masing-masing, tetapi dalam
suasana yang bebas dan demokratis.
Yang dilakukan oleh pimpinan bangsa, baik
legislatif maupun eksekutifnya ketika memasuki era reformasi ialah dengan sekaligus
mengambil seluruh lempengan besi yang menekan dan menindas berpuluh juta per
itu, sehingga serta merta puluhan juta per yang tidak lain adalah rakyat
Indonesia (atau sebagian dari rakyat yang vokal dan aktif) itu berlompatan ke
semua penjuru tanpa arah, tanpa kendali dan tanpa tujuan. Akibatnya yang
terjadi adalah chaosdan anarki. Itulah yang sedang
kita alami sekarang, dan yang setiap harinya semakin parah.
Ironisnya, dalam situasi dan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita
seperti ini, orang mulai mendambakan adanya pemerintahan yang kuat. Dalam
berbagai percakapan dan diskusi, yang diartikan dengan pemerintahan yang kuat
adalah pemerintahan tangan besi yang otoriter, karena kondisi seperti ini hanya
dapat ditertibkan melalui tangan besi terlebih dahulu.
Tetapi elit kita tidak bodoh. Maka sambil
mengatakan bahwa kita butuh pemimpin dan sistem pemerintahan yang tangan besi
untuk mengembalikan suasana chaos dan
anarki ini pada katertiban, sekaligus juga mengatakan bahwa sang diktator yang
akan menyelamatkan bangsa ini, dan yang harus mulai dengan tangan besi,
haruslah orang yang bisa memahami dan menghayati sejarah dengan maksud belajar
dari sejarah. Apa itu?
Jadilah Soeharto, tapi yang sejak awal sudah merencanakan mendemokrasikan
kembali secara bertahap, sambil mendidik rakyatnya supaya bisa berdemokrasi
secara bertanggung jawab. Dan (ini yang paling penting) yang mengerti bahwa
demokrasi tidak universal. Demokrasi sangat terikat dengan latar balakang
budaya dan nilai dari setiap bangsa. Bangsa Indonesia tidak akan mungkin dapat
mengadopsi demokrasi ala Amerika yang diterapkan oleh National Democratic
Institute dan The Ohio Mafia di bawah piminan Prof. Bill Liddle.
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi
dengan kelembagaan dan sistem yang telah dengan matang direncanakan oleh para founding fathers kita yang para intelektual
betulan, bukan pseduo intelektual. Mereka belajar sangat serius
berdekade-dekade sebelum Indonesia merdeka. Mereka (terutama Prof. Supomo)
sudah sangat lama sebelumnya merenung, mengkombinasikan semua falsafah
demokrasi Barat dengan kebudayaan dan nilai-nilai Indonesia yang tertuang dalam
UUD 1945.
Maka setelah kesasar sebentar menjadi Negara Federal dan kesasar
memberlakukan konstitusi lain, Bung Karno mendekritkan kembali ke UUD 1945 yang
asli. Pak Harto memahami hal tersebut dan tetap mempertahankannya.
Sayang seribu sayang bahwa dengan
munculnya para pseudo filosoof dan pseudo intelektualyang sangat dangkal, UUD 1945
diobrak-abrik, seperti halnya per-per yang berlompatan ke semua penjuru.
Apa sistem UUD 1945 itu? Esensinya
Presiden tidak dipilih secara langsung, tetapi melaluigetrapte democratie, yaitu yang memilih MPR. Sebagian
dari anggota MPR diplilih secara langsung untuk belajar demokrasi. Tetapi
sebagian diseleksi (bukan dipilih) dari kaum profesional yang disebut
kelompok-kelompok fungsional (functionele groepen).
Sekali lagi, diseleksi secara cermat yang berkualitas, bermoral tinggi dan
bijaksana. Sebagian lain adalah wakil-wakil daerah yang mengerti betul kondisi
setiap daerah dari Indonesia yang demikian luasnya, dan yang dihormati serta
mempunyai wibawa di daerahnya masing-masing.
Dengan demikian perwakilan kita yang akan
memilih Presiden terdiri dari kombinasi antara keinginan rakyat (yang melalui
pemilu), dan yang diseleksi sebagai de wijze mannen van het volk.
Lantas sistem musyawarah mufakat yang
harus diperjuangkan mati-matian. Hanya kalau benar-benar deadlock dengan akibat tanpa keputusan yang bisa
mengakibatkan kekosongan yang lantas menjurus pada chaos, maka pemungutan suara baru diberlakukan. Ini
telah mentradisi yang dengan terharu saya alami sendiri di tahun 1987 ketika
berfungsi sebagai anggota Badan Pekerja MPR. Terharu, betapa Golkar yang bisa
memungut suara dan langsung bisa menggilas aspirasinya PDI dan PPP toh tidak
mau melakukannya. Golkar menanggapi setiap pendapat dan argumentasinya PDI dan
PPP dengan bersungguh-sungguh, berargumentasi dan meyakinkan PDI dan PPP supaya
keputusan diambil secara bulat. Mengapa?
Bung Karno mengatakan, apakah 51% yang memenangkan
yang 49% dengan perbedaan 2% saja itu sudah kehendak rakyat? Sudahkan itu
dianggap sebagai Vox Populi Vox Dei?
Saya sendiri menyaksikan parlemen Inggris
yang sedang menduduki mayoritas langsung keluar sidang ngobrol ketika partai
minoritas mengajukan usulan beserta argumentasinya. Sama sekali tidak
didengarkan. Hanya ketika pemungutan suara, partai mayoritas masuk ruang,
menggunakan hak suaranya yang mayoritas untuk menggilas minoritas tanpa
mengetahui apa yang dikehendaki minoritas. Sangat mungkin untuk kebaikan
seluruh bangsa, termasuk mayoritas itu juga yang adalah anak bangsa. Toh a priori tidak didengar dengan maksud digilas pada
waktu pemungutan suara. Inikah demokrasi?
Para founding fathers kita
telah mengenali ekses seperti ini jauh sebelum Indonesia merdeka. Parlemen
Inggris sudah tidak seperti itu lagi perilakunya sekarang. Namun kesadaran
mereka bahwa yang demikian itu bukan demokrasi setelah para founding fathers kita mengenalinya, dan memasukkan
ke dalam UUD 1945 cara pengambilan keputusan yang melalui “sistem musyawarah
untuk mencapai mufakat yang dibimbing oleh hikmah kebijaksanaan”.
1 komentar:
terima kasih infonya.
www.kiostiket.com
Posting Komentar