Intelektual Minus Pemikir Kritis
Mahasiswa merupakan
identitas ‘jabatan’ sekaligus status yang diinterprestasikan sebagian
orang sebagai pelajar yang luar biasa dan ‘wah’. Menjadi
kebanggan tersendiri bagi calon mahasiswa yang telah lulus mengenyam
pendidikan Sekolah Mengenah Atas(SMA), terlebih kepada pelajar yang akan
melanjutkan perguruan tinggi dengan beragam embel-embel dan gaung
prestasi( PTN/PTS) )ternama dinegeri ini yang mencetak berbagai lulusan
terbaik, Tentunyadengan kiprah tersebut, secara langsung menarik minat para
orangtua murid untuk melanjutkan pendidikan anak-anak mereka, dengan
sebuah harapan dan impian yang tingi.
Memasuki dunia kampus,
tentu saja memiliki kesan tersendiri bagi mereka yang baru menginjakkan kaki, terlebih
lagi para penyandang status mahasiswa. Sangat jelas bisa di perhatikan
keseharian mahasiswa di beberapa perguruan tinggi.
Kepercayaan diri yang
tinggi(self confidence) pun menjadi nuansa hidup yang
dimiliki oleh personal mahasiswa itu sendiri. Daya kritis dan nalar yang tinggi
selalu diimpikan dan harus ditumbuh kembangkan oleh insan intelektual
ini. Tak sedikit mahasiswa yang me-latah-kan diri dengan situasi kampus
yang dinamis dan progresif.
Mencari jati diri
sebenarnya dengan berbagai aktivitas organisasi baik internal maupun eksternal
kampus. Tentu dengan output melahirkan sosok kepribadian yang cekatan, responbility yang kuat dan tanggap dengan
pelbagi permasalahan sosial yang krusial.
Menapaki sepak terjang mahasiswa, tentu berbeda-beda sesuai dengan minat
dan bakat mereka. Tak khayal ingin membangun citra diri . Dengan berbagai jalur
alur pemikiran preventif yang matang dan mantap.
Mungkin salah satu contoh realnya yang bisa kita amati bersama yaitu
mahasiswa yang mengikuti rekam jejak sang senior atau teman
sejawatan yang sering melakukan aksi atau berkoar-koar didepan “rumah rakyat”
maupun fasilitas umum.
Tentu saja
keikutsertaan mahasiswa yang akan menjadi calon mahasiswa tulen alias aktivis
tersebut adalah ingin menggapai eksistensi atau sekadar popular,
bahkan hal tersebut dilakukan untuk menanggulangi label mahasiswa sebagai agent of change dan agent of control social .
Dengan ‘menumpangi’ pemikiran mahasiswa lain yang memang betul-betul
kritis tanpa harus ikut-ikutan, melainkan kesadaran yang tinggi serta
kepedulian terhadap situasi dan kondisi negara saat ini, setidaknya bisa
menjadi “kendaraan” yang efektif dan efesien bagi mahasiswa bersangkutan.
Mungkin sebagaian dari kita menilai sah-sah saja , karena
selama ini membangkitkan kesadaran mahasiswa bermula dari keikutsertaan, bukan
hanya sekadar teori dari buku dan menunggu sampai mahasiswa bersangkutan
benar-benar memiliki kesadaran yang tinggi, melainkan harus disulut
sedikit demi sedikit, pada akhirnya paham betul apa yang mereka lakukan,
memang beralasan dan untuk kepentingan siapa. Yang terpenting
adalah minat untuk berubah menjadi mahasiswa yang berguna dan bermanfaat
bagi bangsa kedepannya.
Namun sangat disayangkan dan berbanding terbalik bagi
mahasiswa-mahasiswi yang memang fokus mengenyam pendidikan dibangku
perkuliahan. Menomorsatukan kuliah, memperoleh nilai bagus/cummulaud,
dikenal(akrab) para dosen, yang terpenting lagi mendapatkan pekerjaan yang
layak sesuai dengan pendidikan yang dijalani setelah akhir studi nanti, adalah
motif utama pendidikan pasar yang telah dirancang para penguasa pendidik .
Alur paradigma yang pragmatis terlalu sering terbesit dibenak mahasiswa.
Disatu sisi prestasi akademis merupakan sebuah tuntutan yang harus dikejar dan
dicapai, meskipun sebagian besar dibalut segudang teori formal yang
mengikat pikiran kritis .
Di sisi lain pemikiran kritis sangat dibutuhkan untuk membentuk karakter
seorang mahasiswa agar menjadi manusia yang beradab, dengan memperdayakan
pemikiran yang logis demi kepentingan publik. Namun nyatanya saat ini,
masih banyak ditemukan mahasiswa “jadi-jadian” antara pemikir kritis asli
dan pemikir kritis bajakan. Segalanya serba terselubung dan penuh dengan
intrik.
0 komentar:
Posting Komentar