Selasa, 08 Mei 2012

Dilema Pasca Kuliah??



Dilema Pasca Kuliah??




Tahun ajaran  2012 bagi  mahasiswa baru akan hadir dalam lingkungan perguruan tinggi (PT). Status  menjadi mahasiswa sudah di sandang, kebanggaan tersendiri karena telah menanggalkan seragam abu-abu bahkan “roh” UN tak lagi membayangi.
“Ini perguruan tinggi bukan lagi sekolah menengah atas maupun sejenisnya”. Mungkin itu dibenak  sebagian mantan pelajar yang telah berubah status.
Atmosfir akademis akan  dirasakan para agen intelektual  ini. Beragam aktivitas, dari menjalani OSPEK hinggga tetek bengek almamater wajib di ketahui. Begitupun dinamika kampus, hadir di hadapan mahasiswa baru—mata kuliah,organisasi, dunia kerja, pencapaian cita-cita—menjadi satu paradigma.
Selanjutnya, jurusan pilihan yang  ditempuh dalam pergurun tinggi umumnya “dianggap” peluang untuk memperoleh pekerjaan kelak setelah lulus.  Mulai  mengkonsentrasikan secara serius, bahkan tak sedikit mahasiswa bangga dengan jurusan yang  berlabel  “elite”: jurusan yang membutuhkan  anggaran tak sedikit. Fantastis!
Namun nyarisnya, ada juga seseorang yang kuliah tak tahu arah dan  tujuan. Tak banyak calon mahasiswa bingung ketika melanjutkan perguruan tinggi, bahkan harus kandas di tengah jalan, dengan alasan-alasan tak masuk akal.
Ketika melanjutkan ke PT hanya dijadikan sebagai ajang motivasi semata, atau sekadar  partisipan, mengikuti rekan sejawatan. Padahal, tanggungan yang dikeluarkan oleh orang tua begitu luar biasa.
Materi, waktu dan tenaga terbuang sia-sia. Apa yang diharapkan tak sejalan dengan tujuan awal. Tak bisa dipungkiri,  faktor eksternal lainnya pun turut sebagi pemicu kerancuan studi mahasiswa dalam perguruan tinggi.
Misalnya saja, gembar-gembor dari  institusi perguruan tinggi dengan  mengeluarkan “ultimatum”, dimana akan  mencetak mahasiswa yang siap kerja dan menjamin kesuksesan, di sela-sela selebaran media cetak dan Baliho.
Pada akhirnya  mahasiswa “terjebak” akan rayuan iklan PT, tak sedikit merasa kecewa, karena tidak sesuai dengan harapan!
Prestasi Teoritis
Memang menjadi kebanggan bagi mahasiswa terlebih orang tua ketika memperoleh prestasi akademis di perguruan tinggi. Pencapaian prestasi tentu idaman semua mahasiswa secara general.
Tak menutup kemungkinan, apapun akan di tempuh  demi memuluskan nilai yang diidamkan, meski  dengan cara-cara abnormal sekalipun!
Bahkan ‘jurus’ pendekatan dengan pengajar dan pejabat terkait di kampus (Dosen dan Rektor), menjadi sasarann manis mahasiswa. Mencoba melakukan cara semaksimal mungkin, atas nama nilai mata kuliah.
Tak bisa di pungkiri, prestasi yang seharusnya diperoleh dengan penuh perjuangan, pembelajaran yang matang, serta  dedikasi yang kuat, malah di peroleh dengan mudahnya. Sama seperti para elite di negeri ini.
Setidaknya, ini merupakan akar  kuat dari tumbuh suburnya praktik KKN, karena telah tertanam pada nilai-nilai pendidikan kita saat ini, termasuk perguruan tinggi dalam memeproleh nilai. Bukankah seperti itu?
Tak lebihnya, kuliah sekadar memburu nilai semata untuk memperoleh prestasi teoritis, ketimbang prestari aplikasi dalam masyarakat terkait bidang keilmuan.
Dilema  Lulus Kuliah
Sebuah  momok yang menakutkan, ketika para mahasiswa mulai memasuki jenjang terakhir dalam perguruan tinggi yang ditandai dengan penyusunan karya ilmiah.
Disibukkan dengan penelitian lapangan dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai praktik ala perguruan tinggi, yang tidak lain sebagai penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu  Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian.
Terkait terlaksana atau  bermanfaaatnya di masyarakat, itu urusan belakang, yang penting telah terwujud. Titik. Sekadar formalitas! Namun tibalah waktunya saat lulus kuliah dan telah meraih kesarjanaan, tak sedikit yang kewalahan dengan status yang dimilikinya.
Menjadi sebuah dilema besar saat lulus perguruan tinggi tiba , arah keprofesian yang diinginkan acapkali tak sejalan, bahkan berbanding terbalik. Realita sudah membuktikan bahwa pendidikan tinggi (kita) tidak mampu menjawab tantangan yang ada di lapangan, seperti pengentasan pengangguran maupun peningkatan lapangan pekerjaan, malah sebaliknya.
Segudang teori yang dimiliki sang agen perubah (baca: Mahasiswa) tak ada artinya ketika terjun dilapangan secara riil, tanpa terikat dengan nilai. Dilema  ini akan berbuah manis jika Si mahasiswa mau berfikir kedepan bahwa, status kesarjanaan lengkap dengan  keilmuan yang   dimiliki tak pernah berjalan dengan  “formalnya”, bukan seperti penyusuan skirpisi atau ujian akhir: tersistematis. Selalu penuh dengan rahasia dan kontradiktif.
Jadi, untuk menyikapi ihwal tersebut  seyogyanya mahasiswa bersikap fleksibel untuk menerima semua kemungkinan pasca lulus kuliah sehingga tidak menjadi sebuah dilema yang menyakitkan!

0 komentar:

Posting Komentar