Tahun ajaran 2012 bagi
mahasiswa baru akan hadir dalam lingkungan perguruan tinggi (PT).
Status menjadi mahasiswa sudah di sandang, kebanggaan tersendiri karena
telah menanggalkan seragam abu-abu bahkan “roh” UN tak lagi membayangi.
“Ini
perguruan tinggi bukan lagi sekolah menengah atas maupun sejenisnya”. Mungkin
itu dibenak sebagian mantan pelajar yang telah berubah status.
Atmosfir
akademis akan dirasakan para agen intelektual ini. Beragam aktivitas,
dari menjalani OSPEK hinggga tetek bengek almamater wajib di ketahui. Begitupun
dinamika kampus, hadir di hadapan mahasiswa baru—mata kuliah,organisasi, dunia
kerja, pencapaian cita-cita—menjadi satu paradigma.
Selanjutnya,
jurusan pilihan yang ditempuh dalam pergurun tinggi umumnya “dianggap”
peluang untuk memperoleh pekerjaan kelak setelah lulus. Mulai
mengkonsentrasikan secara serius, bahkan tak sedikit mahasiswa bangga dengan
jurusan yang berlabel “elite”: jurusan yang membutuhkan
anggaran tak sedikit. Fantastis!
Namun
nyarisnya, ada juga seseorang yang kuliah tak tahu arah dan tujuan. Tak
banyak calon mahasiswa bingung ketika melanjutkan perguruan tinggi, bahkan
harus kandas di tengah jalan, dengan alasan-alasan tak masuk akal.
Ketika
melanjutkan ke PT hanya dijadikan sebagai ajang motivasi semata, atau
sekadar partisipan, mengikuti rekan sejawatan. Padahal, tanggungan yang
dikeluarkan oleh orang tua begitu luar biasa.
Materi,
waktu dan tenaga terbuang sia-sia. Apa yang diharapkan tak sejalan dengan
tujuan awal. Tak bisa dipungkiri, faktor eksternal lainnya pun turut
sebagi pemicu kerancuan studi mahasiswa dalam perguruan tinggi.
Misalnya
saja, gembar-gembor dari institusi perguruan tinggi dengan
mengeluarkan “ultimatum”, dimana akan mencetak mahasiswa yang siap
kerja dan menjamin kesuksesan, di sela-sela selebaran media cetak dan Baliho.
Pada
akhirnya mahasiswa “terjebak” akan rayuan iklan PT, tak sedikit merasa
kecewa, karena tidak sesuai dengan harapan!
Prestasi Teoritis
Memang
menjadi kebanggan bagi mahasiswa terlebih orang tua ketika memperoleh prestasi
akademis di perguruan tinggi. Pencapaian prestasi tentu idaman semua mahasiswa
secara general.
Tak
menutup kemungkinan, apapun akan di tempuh demi memuluskan nilai yang
diidamkan, meski dengan cara-cara abnormal sekalipun!
Bahkan
‘jurus’ pendekatan dengan pengajar dan pejabat terkait di kampus (Dosen dan
Rektor), menjadi sasarann manis mahasiswa. Mencoba melakukan cara semaksimal
mungkin, atas nama nilai mata kuliah.
Tak
bisa di pungkiri, prestasi yang seharusnya diperoleh dengan penuh perjuangan,
pembelajaran yang matang, serta dedikasi yang kuat, malah di peroleh
dengan mudahnya. Sama seperti para elite di negeri ini.
Setidaknya,
ini merupakan akar kuat dari tumbuh suburnya praktik KKN, karena telah
tertanam pada nilai-nilai pendidikan kita saat ini, termasuk perguruan tinggi
dalam memeproleh nilai. Bukankah seperti itu?
Tak
lebihnya, kuliah sekadar memburu nilai semata untuk memperoleh prestasi
teoritis, ketimbang prestari aplikasi dalam masyarakat terkait bidang keilmuan.
Dilema Lulus Kuliah
Sebuah
momok yang menakutkan, ketika para mahasiswa mulai memasuki jenjang terakhir
dalam perguruan tinggi yang ditandai dengan penyusunan karya ilmiah.
Disibukkan
dengan penelitian lapangan dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai praktik ala
perguruan tinggi, yang tidak lain sebagai penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi
yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian.
Terkait
terlaksana atau bermanfaaatnya di masyarakat, itu urusan belakang, yang
penting telah terwujud. Titik. Sekadar formalitas! Namun tibalah waktunya saat
lulus kuliah dan telah meraih kesarjanaan, tak sedikit yang kewalahan dengan
status yang dimilikinya.
Menjadi
sebuah dilema besar saat lulus perguruan tinggi tiba , arah keprofesian yang
diinginkan acapkali tak sejalan, bahkan berbanding terbalik. Realita sudah
membuktikan bahwa pendidikan tinggi (kita) tidak mampu menjawab tantangan yang
ada di lapangan, seperti pengentasan pengangguran maupun peningkatan lapangan
pekerjaan, malah sebaliknya.
Segudang
teori yang dimiliki sang agen perubah (baca: Mahasiswa) tak ada artinya ketika
terjun dilapangan secara riil, tanpa terikat dengan nilai. Dilema ini
akan berbuah manis jika Si mahasiswa mau berfikir kedepan bahwa, status kesarjanaan
lengkap dengan keilmuan yang dimiliki tak pernah berjalan
dengan “formalnya”, bukan seperti penyusuan skirpisi atau ujian akhir:
tersistematis. Selalu penuh dengan rahasia dan kontradiktif.
Jadi,
untuk menyikapi ihwal tersebut seyogyanya mahasiswa bersikap fleksibel
untuk menerima semua kemungkinan pasca lulus kuliah sehingga tidak menjadi
sebuah dilema yang menyakitkan!
0 komentar:
Posting Komentar