Sosial Budaya
Valentine: Konsumerisme Bertopeng
Kasih Sayang
Minggu kedua Februari
adalah “Hari Raya” yang selalu dinanti-nanti oleh sebagian remaja. Ya, hari spesial, khususnya
bagi anak-anak baru gede (ABG), di kota-kota besar hampir di seluruh dunia.
Bagi mereka, hari itu adalah Hari
Pink. Serba merah muda.
Mereka “percaya” hari itu
adalah hari kasih sayang. Dekor hati yang terbuat dari balon (plastik) warna
merah muda dengan seorang bocah kecil bugil membawa busur dan panah, tampak
menghiasi etalase-etalase mal dan plaza hotel berbintang.
Semua mal, tempat
nongkrong, karaoke, diskotik, stasiun televisi -khususnya dalam program infotainmen-,
bahkan lokalisasi pelacuran pun turut memeriahkan produk budaya Barat itu
dengan tampilan merah muda. Produk-produk seperti coklat, permen, es krim,
t-shirt, bunga dan lain-lain, pun dibuat para pebisnis dengan semuanya serba
merah muda.
Dari sini saja, kasat
terlihat Valentine’s Day yang merupakan produk Romawi kuno itu
dimanfaatkan kapitalisme liberal yang berbusana modern, bertopeng westernal.
Seorang penjual bunga
mawar di sekitar Mal Seibu Blok M, Jakarta Selatan, Amrizal (20
tahun), mengaku dagangannya sangat laku keras menjelang Valentin 2009 kemarin.
Di kampung halamannya, Maninjau, Sumatera Barat, Amrizal tak pernah merayakan
Hari Valentin.
Ia baru tahu setelah dua
tahun merantau di Jakarta, kalau upaya menyatakan kasih sayang itu dengan cara
memberi bunga. Atau momentum Valentin bisa dimanfaatkan seseorang untuk “nembak”
(menyatakan cinta atau mengukuhkan hubungan) kepada lawan jenisnya.
Memang pesta Valentin di
Indonesia lebih marak dirayakan di perkotaan, khususnya kota-kota besar.
Kakeknya Amrizal bercerita, di zaman Bung Karnodoeloe, tak ada yang
berani merayakan Hari Valentin, karena ritual ini termasuk produk budaya Barat
yang dilarang Bung Karno.
Maraknya perayaan pesta
Valentin di Indonesia, mulai berkibar sejak era 1970-an setelah rezim Soeharto
berkuasa, terutama setelah “dihalalkan” masuknya investasi asing seperti KFC,
Mc Donald dan Pizza Hut.
Hari spesial bagi
anak-anak muda perkotaan ini tentu diwarnai dengan pesta hura-hura, yang efek mudharatnya lebih besar. Apalagi Narkoba dan Miras (minuman keras) sudah mewabah
di masyarakat. Di luar sana, Indonesia sudah dikenal sebagai produsen narkoba.
Akibat lemahnya penegakan
hukum di negeri ini, dapat saja perayaan Valentin disalahgunakan dengan pesta
seks dan Narkoba.
Cerita Awal
Hari yang “katanya” untuk
berkasih sayang ini menurut sejarahnya adalah tradisi gereja. Diperkenalkan
pertamakali pada tahun 496 Masehi oleh Paus Gelasius I, yang menjadikan ritual
Romawi Kuno ini sebagai perayaan gereja untuk menghormati Santo (St.) Valentine
yang wafat pada 14 Februari 269 M. Dan Paus Gelasius I mengubah upacara ini
dengan nama Saint Valentine’s Day.
Berdasarkan Catholic
Encyclopedia (1908), sebenarnya terdapat tiga orang yang diberi nama St
Valentine: Pertama, seorang pastur dari Roma yang mati sebagai martir; Kedua,
pastur lainnya wafat di Afrika Utara; Dan ketiga, seorang uskup dari Terni
(Italia) yang mendapat julukan St. Valentine.
Istilah “valentine”
dalam bahasa Latin disebut “valentinus” artinya gagah perkasa. Banyak
orang Romawi menamakan anaknya dengan “Valentine”, sebagai julukan bagi raja
Romawi yang dipuja ketampanan dan kegagahannya, yaitu raja Nimrod.
Banyak gadis tergila-gila
padanya. Tak hanya para perawan jelita, ibu kandung Nimrod pun, Semiramis, tak
mampu menyembunyikan syahwatnya. Tanpa malu, Semiramis pun mengawini putra
kandungnya itu. Pada 15 Februari, Nimrod dan ibunya meminta maaf atas cinta
kasih mereka yang haram itu.
Maka pada setiap perayaan Valentine’s Day, acap kali
kita lihat ada lambang hati dan seorang anak kecil telanjang, yang disebut
Cupid membawa busur panah. Si Cupid pembawa busur panah itu adalah gambaran
dari Nimrod saat masih kecil. Panah Cupid yang tampil bugil itu, tak hanya
membuat orang saling jatuh cinta, tapi juga membangkitkan nafsu birahi.
Beda Budaya
Di negeri-negeri yang
kuat memelihara akar budayanya, Valentine’s
Day tidak dirayakan pada 14
Februari. Kenduri Valentine di Cina mengikuti penanggalan Cina yang disebut “Qi
Shi”, yang artinya 77, dan dirayakan pada tanggal 7 bulan 7 penanggalan
Imlek. Di negeri itu, hajatan ala Hari Valentin ini sudah berkembang sejak
tahun 206 sebelum Masehi, persisnya sejak zaman dinasti Han.
Kita sepakat secara
historis, Cina menjadi negeri pertama di dunia yang merayakan hari kasih
sayang. Sedangkan Imperium Romawi baru mengadakan Valentin pada tahun 269 M
(sesudah Masehi), yang diperkenalkan pertamakali pada tahun 496 M oleh Paus
Gelasius I untuk menghormati St. Valentine yang wafat pada 14 Februari 269 M.
Beda Cina, beda pula
Jepang dan Korea. Hari Kasih Sayang di Korea dan Jepang dirayakan pada 14
Maret. Mereka menyebut Hari Raya itu sebagai hari Giri-Choco. “Giri”
berarti wajib, dan “choco” berarti coklat. Pada hari itu para gadis
diwajibkan memberi coklat kepada teman-teman pria. Dan kaum lelaki membalasnya
dengan memberi hadiah coklat berwarna putih, atau hadiah lainnya yang warnanya
putih. Maka bagi kawula muda Jepang dan Korea, 14 Maret disebut sebagai “White
Day” atau hari putih.
Di Brazil (negara Amerika
Latin) hari kasih sayang dirayakan pada 12 Juni, yang dikenal dengan sebutan “Dia
Dos Namorados” (hari cowok-cewek). Sedang di
Kolombia walau satu daratan dengan Brazil, mereka merayakan hari kasih sayang
di bulan September dengan nama “Amigo Secreto” (sobat rahasia). Si
pemberi hadiah pada peringatan itu tak boleh memberitahu identitasnya.
Di negeri-negeri Timur
Tengah yang mayoritas beragama Islam dan teguh pada akidah Islam, seperti Saudi
Arabia, Kuwait, Yordania dan Mesir, tidak merayakan hari kasih sayang. Karena
memang ajaran Islam mewajibkan umatnya untuk saling menyayangi dan mengasihi,
tak hanya dengan sesama manusia, juga sesama makhluk ciptaan Allah SWT, tanpa mengenal hari atau
melalui perayaan tertentu.
Fatwa Haram
Jelas sudah, Hari
Valentin bukan budaya kita dan bukan pula ajaran agama kita. Yang masih
dipertanyakan hingga kini, perlukah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan
fatwa haram perayaan Valentine’s Day ini Dan apa alasannya
Biasanya, para ulama akan
memfatwakan sesuatu menjadi haram jika lebih banyak berefek mudharat, begitu
pula Valentine’s Day.
Dari berbagai kisah tentang Valentin dan sejarahnya dari kepustakaan Barat dan
Kristen, seperti secara ringkas dituangkan di atas, jelas ada fakta-fakta
sensasi amoralistik dan naif dari perayaan Valentin. Belum lagi dampak
moral-sosialnya yang kini sudah sangat terasa bagi masyarakat muslim.
Maka wajib kiranya MUI
segera membuat fatwa haram bagi umat Islam untuk merayakan hari kasih sayang
tersebut. MUI seharusnya jangan hanya sibuk dengan fatwa-fatwa sumir, seperti
fatwa rebounding rambut atau tembakau. Sudah waktunya
fatwa untuk menjaga akidah dan moral umat Islam Indonesia dari gerusan
imperialisme budaya, seperti perayaan Valentin dikeluarkan.
0 komentar:
Posting Komentar